Lingkaran Kasihan
Aku sering mengasihani diri sendiri. Mengasihani dalam pengertianku lebih pada menaruh kasih daripada jatuh iba. Berangkat dari sinilah aku sering mengatakan "kasihan" untuk menanggapi berbagai hal. Bagi orang lain kayaknya aneh, masak aku bilang kasihan pada sahabatku yang baru saja menikah. Tapi, sahabatku tersenyum senang karena dia tahu persis arti ucapanku itu.
Perasaan mengasihani lebih banyak datang saat orang lain mengasihani diriku. Entah itu muncul dalam pengertian menaruh kasih atau jatuh kasihan padaku. Seperti perasaan yang aku alami tak lama berselang.
Aku baru saja dibelikan guci air mineral dan dua wadah plastik untuk cucian. Guci itu berwarna cokelat dengan relief anggur dengan ranting dan daun. Nggak cocok banget ya, anggur warna cokelat :). Maklum yang beli itu adik laki-lakiku. Sedangkan keranjang cucian berbahan plastik itu dua-duanya berwarna ungu. Adikku dikasih duit oleh sepupu tersayangku, Kak Herry, untuk membelikan barang-barang itu buatku.
Hadiah itu benar-benar membuat aku terharu dan merasa dikasihani. Terus terang aku memang kurang peduli dengan hal-hal yang berhubungan dengan diriku sendiri. Perlu orang lain untuk mengasihaniku dengan perkataan, peringatan, dan pemberian hal-hal yang aku nggak yakin apakah itu kebutuhan atau keinginan.
Setiap tamu dekat yang datang ke rumahku pasti mengeluh saat akan minum air. Selama ini kami memakai semacam pompa plastik yang ditempelken di mulut galon air mineral. Di bulan-bulan awal, sekali pompa air langsung meluncur deras. Namun, semakin ke belakang, hanya aku dan dua adikku yang bisa memompa air. Selama ini kita bertiga selalu menyemangati diri sendiri, "Ambil positif, biar lengar ber-spier--otot bahasa Belanda." Padahal, itu cuma alasan yang asal comot tuh :).
Aku langsung berterima kasih dan menyatakan keharuan lewat pesan singkat (SMS). Jenny adikku yang saat itu berada di samping Kak Hery--yang besok menyambung tugas ke Bali--bilang mata kakak sepupuku ini sempat berkaca-kaca. Saat itu, Jenny sedang mengantarkan Kak Herry ke tempat penginapan.
Begitu sampai di rumah, Jenny langsung tanya kenapa Kak Herry hampir menangis. Aku ceritakan alasannya sembari menunjukkan balasan SMS Kak Herry. Kita berdua tertawa keras membaca pesannya. "Ho, biar kalau ada tamu mau minum nggak perlu srot-srot sampai 10 X dan nggak tabrakan dengan tumpukan pakaian kotor. Apalagi kalau tamu dari----(maaf disensor) datang. Aku tahu adikku memang perkasa, tapi butuh yang bgt2 [begitu] juga he he he."
Guci air mineral ini persoalan yang sangat sepele memang. Tapi, seperti yang aku bilang tadi, kadang-kadang aku memang kesulitan membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Sudah berkali-kali guci ini aku masukan dalam daftar belanja bulanan. Tapi, nggak tahu kenapa selalu saja lewat.
Minggu silam juga iparku menawarkanku mesin cuci. Mungkin dia kasihan melihat aku hiks. Memang, baju kotor tiga ponakanku menggunung di tempatku. Ronny adikku yang kebagian peran tukang cuci ogah mencuci pakaian mereka. Artinya aku dong yang harus mencuci.
Sampai sekarang kulit tanganku masih terasa kering. Kulit di sekitar daerah yang berbatasan dengan kuku jari manis, tengah, dan telunjuk kiriku juga masih lecet. Susah juga sih mau bilang bahwa aku benar happy mencuci baju kecil-kecil itu. Nggak ada yang percaya. Padahal, tumpukan baju kotor--dan segunung masalah yang berhubungan dengan bersih-bersih di rumah--menjadi salah satu alasanku untuk mengisi hari. Sementara yang lain tidak tahu harus berbuat apa, termasuk Jenny adikku, aku malah merasa 24 jam itu kadang tidak cukup. Apalagi pakai dipotong waktu tidur. Aneh kan, memang he he he.
Kadang-kadang aku harus mengingatkan diriku agar jangan terlalu bersemangat menyingsing lengan begitu. Bisa-bisa sakit. Ini sering terjadi. Soalnya aku selalu merasa kelebihan energi he he he. Syukur-syukur adikku kasihan (tuh kan kasihan lagi) melihat aku dan mengambil alih semua itu. Tapi, ini jarang.
Tawaran iparku itu aku tolak. Lebih baik dia mengurusi keponakanku saja. Heran deh, ternyata aku dikasihani karena tidak mampu membeli sesuatu yang bisa aku beli mmm enam atau 12 sekaligus :).
Sepanjang hidup aku dikitari perasaan kasihan dengan dua maksud itu. Aku ingin berbagi rahasia di sini. Sebenarnya Tuhan memberi aku begitu banyak berkat untuk memenuhi kebutuhanku. Lagian apa sih yang aku butuhkan? Asal ada makanan, pakaian, dan tempat berteduh cukuplah.
Sementara semua daftar keinginanku aku serahkan pada Tuhan. Memang tidak percuma, seperti guci dan keranjang cucian itu. Ini membuat aku merasa menjadi orang yang beruntung. Semua yang terjadi seperti sudah diatur. Aku selalu tersenyum mendapati aku benar-benar dikasihani.
Aku jadi ingat ketika Moses, Wulan, dan Nera bergantian mendoakanku. "Kasihan, Ne sakit." Padahal, aku cuma masuk angin dan harus tidur yang lebih panjang dari biasanya. Masih banyak kasihan lagi yang membuat aku terus-terus bersyukur karena dikelilingi orang yang mengasihani aku. Mau menangis rasanya.
Saat menulis ini Ria Satri--jangan kecele dia cowok--memberikan voucher potong rambut di salah satu salon produk kosmetik tradisional. Aku tidak tahu apakah dia kasihan melihat rambutku. Tapi nggak mungkin deh, rambutku dalam kondisi aman terkendali, baru creambath kemarin :) Lagian, ada begitu banyak orang di kantor, kenapa juga aku yang dikasih? Ahhh, repot-repot amat.
Saat ini yang terpikir adalah betapa aku hidup di antara lingkaran kasihan banyak orang. Ini membuat aku tak berhenti mengucap terima kasih pada Tuhan, betapa Tuhan mengasihaniku sangat.
Aku sering mengasihani diri sendiri. Mengasihani dalam pengertianku lebih pada menaruh kasih daripada jatuh iba. Berangkat dari sinilah aku sering mengatakan "kasihan" untuk menanggapi berbagai hal. Bagi orang lain kayaknya aneh, masak aku bilang kasihan pada sahabatku yang baru saja menikah. Tapi, sahabatku tersenyum senang karena dia tahu persis arti ucapanku itu.
Perasaan mengasihani lebih banyak datang saat orang lain mengasihani diriku. Entah itu muncul dalam pengertian menaruh kasih atau jatuh kasihan padaku. Seperti perasaan yang aku alami tak lama berselang.
Aku baru saja dibelikan guci air mineral dan dua wadah plastik untuk cucian. Guci itu berwarna cokelat dengan relief anggur dengan ranting dan daun. Nggak cocok banget ya, anggur warna cokelat :). Maklum yang beli itu adik laki-lakiku. Sedangkan keranjang cucian berbahan plastik itu dua-duanya berwarna ungu. Adikku dikasih duit oleh sepupu tersayangku, Kak Herry, untuk membelikan barang-barang itu buatku.
Hadiah itu benar-benar membuat aku terharu dan merasa dikasihani. Terus terang aku memang kurang peduli dengan hal-hal yang berhubungan dengan diriku sendiri. Perlu orang lain untuk mengasihaniku dengan perkataan, peringatan, dan pemberian hal-hal yang aku nggak yakin apakah itu kebutuhan atau keinginan.
Setiap tamu dekat yang datang ke rumahku pasti mengeluh saat akan minum air. Selama ini kami memakai semacam pompa plastik yang ditempelken di mulut galon air mineral. Di bulan-bulan awal, sekali pompa air langsung meluncur deras. Namun, semakin ke belakang, hanya aku dan dua adikku yang bisa memompa air. Selama ini kita bertiga selalu menyemangati diri sendiri, "Ambil positif, biar lengar ber-spier--otot bahasa Belanda." Padahal, itu cuma alasan yang asal comot tuh :).
Aku langsung berterima kasih dan menyatakan keharuan lewat pesan singkat (SMS). Jenny adikku yang saat itu berada di samping Kak Hery--yang besok menyambung tugas ke Bali--bilang mata kakak sepupuku ini sempat berkaca-kaca. Saat itu, Jenny sedang mengantarkan Kak Herry ke tempat penginapan.
Begitu sampai di rumah, Jenny langsung tanya kenapa Kak Herry hampir menangis. Aku ceritakan alasannya sembari menunjukkan balasan SMS Kak Herry. Kita berdua tertawa keras membaca pesannya. "Ho, biar kalau ada tamu mau minum nggak perlu srot-srot sampai 10 X dan nggak tabrakan dengan tumpukan pakaian kotor. Apalagi kalau tamu dari----(maaf disensor) datang. Aku tahu adikku memang perkasa, tapi butuh yang bgt2 [begitu] juga he he he."
Guci air mineral ini persoalan yang sangat sepele memang. Tapi, seperti yang aku bilang tadi, kadang-kadang aku memang kesulitan membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Sudah berkali-kali guci ini aku masukan dalam daftar belanja bulanan. Tapi, nggak tahu kenapa selalu saja lewat.
Minggu silam juga iparku menawarkanku mesin cuci. Mungkin dia kasihan melihat aku hiks. Memang, baju kotor tiga ponakanku menggunung di tempatku. Ronny adikku yang kebagian peran tukang cuci ogah mencuci pakaian mereka. Artinya aku dong yang harus mencuci.
Sampai sekarang kulit tanganku masih terasa kering. Kulit di sekitar daerah yang berbatasan dengan kuku jari manis, tengah, dan telunjuk kiriku juga masih lecet. Susah juga sih mau bilang bahwa aku benar happy mencuci baju kecil-kecil itu. Nggak ada yang percaya. Padahal, tumpukan baju kotor--dan segunung masalah yang berhubungan dengan bersih-bersih di rumah--menjadi salah satu alasanku untuk mengisi hari. Sementara yang lain tidak tahu harus berbuat apa, termasuk Jenny adikku, aku malah merasa 24 jam itu kadang tidak cukup. Apalagi pakai dipotong waktu tidur. Aneh kan, memang he he he.
Kadang-kadang aku harus mengingatkan diriku agar jangan terlalu bersemangat menyingsing lengan begitu. Bisa-bisa sakit. Ini sering terjadi. Soalnya aku selalu merasa kelebihan energi he he he. Syukur-syukur adikku kasihan (tuh kan kasihan lagi) melihat aku dan mengambil alih semua itu. Tapi, ini jarang.
Tawaran iparku itu aku tolak. Lebih baik dia mengurusi keponakanku saja. Heran deh, ternyata aku dikasihani karena tidak mampu membeli sesuatu yang bisa aku beli mmm enam atau 12 sekaligus :).
Sepanjang hidup aku dikitari perasaan kasihan dengan dua maksud itu. Aku ingin berbagi rahasia di sini. Sebenarnya Tuhan memberi aku begitu banyak berkat untuk memenuhi kebutuhanku. Lagian apa sih yang aku butuhkan? Asal ada makanan, pakaian, dan tempat berteduh cukuplah.
Sementara semua daftar keinginanku aku serahkan pada Tuhan. Memang tidak percuma, seperti guci dan keranjang cucian itu. Ini membuat aku merasa menjadi orang yang beruntung. Semua yang terjadi seperti sudah diatur. Aku selalu tersenyum mendapati aku benar-benar dikasihani.
Aku jadi ingat ketika Moses, Wulan, dan Nera bergantian mendoakanku. "Kasihan, Ne sakit." Padahal, aku cuma masuk angin dan harus tidur yang lebih panjang dari biasanya. Masih banyak kasihan lagi yang membuat aku terus-terus bersyukur karena dikelilingi orang yang mengasihani aku. Mau menangis rasanya.
Saat menulis ini Ria Satri--jangan kecele dia cowok--memberikan voucher potong rambut di salah satu salon produk kosmetik tradisional. Aku tidak tahu apakah dia kasihan melihat rambutku. Tapi nggak mungkin deh, rambutku dalam kondisi aman terkendali, baru creambath kemarin :) Lagian, ada begitu banyak orang di kantor, kenapa juga aku yang dikasih? Ahhh, repot-repot amat.
Saat ini yang terpikir adalah betapa aku hidup di antara lingkaran kasihan banyak orang. Ini membuat aku tak berhenti mengucap terima kasih pada Tuhan, betapa Tuhan mengasihaniku sangat.