Serenade
Ada pesta di dekat rumahku. Ada beberapa kursi panjang yang diletakkan di sisi kiri dan kanan jalan yang lebarnya kira-kira tiga rentangan tanganku. Kelihatannya sih ada beberapa botol minuman dan belasan gelas. Sinar lampu yang begitu terang membuatku tidak bisa melihat jelas para tamu dan mungkin yang empunya pesta yang berkumpul di depan semacam pos ronda.
Ini adalah pesta kedua selama aku menetap di rumah kontrakanku ini. Pesta di lingkungan baruku ini identik dengan ketawa, cerita lucu, dan berkaraoke. Entah kebetulan atau tidak, nyaris tidak ada suara perempuan yang bernyanyi. Kata adikku, mungkin para ibu kecapekan masak.
Musiknya kencang banget. Kaca jendelaku ikut bergetar. Telingaku juga ikut berdengung. Bahkan, jantungku berdetak seirama dentuman bas. Wah!
Sepertinya ini sudah menjadi kebiasaan. Jadi, aku harus membiasakan diri dengan musik kencang di tengah malam. Mula-mula sih agak nggak enak juga. Aku baru pulang kantor, butuh istirahat, musti bangun pagi lagi. Tapi, mau apa lagi. Pasrah bongkok saja.
Lama-lama ketawa-ketawa dan celetukan-celetukan di luar terdengar menyenangkan juga. Suara para penyanyi karaoke juga lumayan, bisa dikatakan tiga atau dua tingkat di bawah Om Broery Pesolima. Lagu-lagunya juga menarik. Lagu-lagu Broery dan lagu-lagu lama seperti yang dinyanyikan Bee Gees, John Denver, Kenny Rogers, Barry Manilow, Engelbert Humperdinck, Cliff Richard, ABBA, Carpenter.... Mirip acara Tembang Kenangan di stasiun Indosiar. Bedanya, tidak ada dansa.
Daripada memikirkan musik dengan volume yang mungkin disetel pul, lebih baik aku berdansa. Dan aku pun berdansa. Putar sana putar sini. Meliukkan tangan dan badan dengan kaki telanjang yang dijinjit, bernyanyi diselilngi na na na mengikuti lagu. Aku berhenti menari setelah berkeringat.
Aku jadi ingat suasana rumah orang tuaku. Begitu ada lagu lama, pasti ada yang berdansa dan bernyanyi. Karena itu kita sering menonton Dansa oh Dansa dan Tembang Kenangan. Kita juga menari mengikuti irama.
Adikku tak bereaksi. Padahal, biasanya dia juga suka ikut-kutan berdansa. Dia memilih menikmati musikny, bahkan ikut bernyanyi. Dia duduk di ruang tengah menikmati lagu-lagu dari tempat pesta sambil menunggu jam 12 malam, waktu untuk kita berdoa bareng.
Kita membuka doa masih dalam alunan lagu dengan volume dahsyat. Apa ya, lagu yang mengalun pas kita menutup doa? Nggak ingat atau jangan-jangan memang nggak ada.
Adikku kembali duduk di ruang depan. Menikmati lagu. Sedangkan aku memilih tidur. Volume lagu di depan menurun. Kali ini, suara Nat King Cole. Dalam benakku Nat King Cole sedang memakai baju khas Spanyol dan bernyanyi untukku. Bukan untuk merayu atau menyatakan cinta, serenade, tapi untuk mengantarkanku tidur. Hmmmm, indah benar hidup ini....
Ada pesta di dekat rumahku. Ada beberapa kursi panjang yang diletakkan di sisi kiri dan kanan jalan yang lebarnya kira-kira tiga rentangan tanganku. Kelihatannya sih ada beberapa botol minuman dan belasan gelas. Sinar lampu yang begitu terang membuatku tidak bisa melihat jelas para tamu dan mungkin yang empunya pesta yang berkumpul di depan semacam pos ronda.
Ini adalah pesta kedua selama aku menetap di rumah kontrakanku ini. Pesta di lingkungan baruku ini identik dengan ketawa, cerita lucu, dan berkaraoke. Entah kebetulan atau tidak, nyaris tidak ada suara perempuan yang bernyanyi. Kata adikku, mungkin para ibu kecapekan masak.
Musiknya kencang banget. Kaca jendelaku ikut bergetar. Telingaku juga ikut berdengung. Bahkan, jantungku berdetak seirama dentuman bas. Wah!
Sepertinya ini sudah menjadi kebiasaan. Jadi, aku harus membiasakan diri dengan musik kencang di tengah malam. Mula-mula sih agak nggak enak juga. Aku baru pulang kantor, butuh istirahat, musti bangun pagi lagi. Tapi, mau apa lagi. Pasrah bongkok saja.
Lama-lama ketawa-ketawa dan celetukan-celetukan di luar terdengar menyenangkan juga. Suara para penyanyi karaoke juga lumayan, bisa dikatakan tiga atau dua tingkat di bawah Om Broery Pesolima. Lagu-lagunya juga menarik. Lagu-lagu Broery dan lagu-lagu lama seperti yang dinyanyikan Bee Gees, John Denver, Kenny Rogers, Barry Manilow, Engelbert Humperdinck, Cliff Richard, ABBA, Carpenter.... Mirip acara Tembang Kenangan di stasiun Indosiar. Bedanya, tidak ada dansa.
Daripada memikirkan musik dengan volume yang mungkin disetel pul, lebih baik aku berdansa. Dan aku pun berdansa. Putar sana putar sini. Meliukkan tangan dan badan dengan kaki telanjang yang dijinjit, bernyanyi diselilngi na na na mengikuti lagu. Aku berhenti menari setelah berkeringat.
Aku jadi ingat suasana rumah orang tuaku. Begitu ada lagu lama, pasti ada yang berdansa dan bernyanyi. Karena itu kita sering menonton Dansa oh Dansa dan Tembang Kenangan. Kita juga menari mengikuti irama.
Adikku tak bereaksi. Padahal, biasanya dia juga suka ikut-kutan berdansa. Dia memilih menikmati musikny, bahkan ikut bernyanyi. Dia duduk di ruang tengah menikmati lagu-lagu dari tempat pesta sambil menunggu jam 12 malam, waktu untuk kita berdoa bareng.
Kita membuka doa masih dalam alunan lagu dengan volume dahsyat. Apa ya, lagu yang mengalun pas kita menutup doa? Nggak ingat atau jangan-jangan memang nggak ada.
Adikku kembali duduk di ruang depan. Menikmati lagu. Sedangkan aku memilih tidur. Volume lagu di depan menurun. Kali ini, suara Nat King Cole. Dalam benakku Nat King Cole sedang memakai baju khas Spanyol dan bernyanyi untukku. Bukan untuk merayu atau menyatakan cinta, serenade, tapi untuk mengantarkanku tidur. Hmmmm, indah benar hidup ini....