Nera Hilang
Taksi yang membawaku melaju lancar. Jalanan lengang di Minggu yang agak mendung itu. Jam baru menunjukkan pukul 08.15 WIB. Masih ada waktu sekitar setengah jam sebelum misa dimulai. Aku bisa singgah sebentar di rumah abangku untuk menengok tiga keponakanku yang pasti sedang siap-siap Sekolah Minggu (SM).
Pintu rumah abangku terkunci. Bonty, anjing peliharaan mereka, juga tampak tenang. Duduk manis di tempatnya, di ujung tembok, tertutup beberapa pot bunga. Lehernya dirantai. Tumben tidak ada suara anak-anak. Ternyata abangku sedang ikut kebaktian pagi. Istrinya, Hani, sedang siap-siap ke tempat SM.
"Wulan dan Moses?" tanyaku.
"Sekolah Minggu," kata Hani.
"Nera?"
"Ke gereja."
"Ha?"
"Maksudnya ke Sekolah Minggu ding," kata Hani bersiap-siap menyusul Nera. Jarak antara rumah abangku dan gereja Pentakosta tempat SM sekitar 200 meter.
Nera memang masih harus ditunggui. Sebab, si kecil ini masih belum bisa diatur. Jika mau keluar, dia akan keluar. Belum lagi tiba-tiba ingat jajan dan Nera pergi begitu saja. Sebaliknya dia juga bisa tenang selama satu jam lebih di dalam kelas Antiokioa Kecil. Tergantung suasana hatinya, suka-suka.
Aku dan Hani keluar bareng. Aku belok kiri dan jalan kaki sekitar tujuh menit. Lumayan, buang-buang kalori:)
Ternyata gereja penuh Minggu itu. Seperti biasa aku mencari tempat duduk di kapel, di sisi kiri dalam gereja. Persis di sebelah kanan altar. Tapi, tidak ada tempat. Aku terpaksa keluar dan melirik-lirik tempat kosong. Nihil.
Keluar dari kapel aku mancari tempat berdiri yang nyaman. Harus dekat pintu dan banyak angin. Nggak boleh terlalu banyak orang. Aku butuh oksigen yang lebih banyak. Aku memilih duduk di bangku ke lima dari belakang. Ujung bangku persis di depan pintu.
Tiba-tiba aku merasa ada tangan kecil memegang rokku. Aku jalan terus. Tangan kecil itu mencengkeram rokku lebih kencang. Aku berhenti. Mencari tahu siapa yang berulah. Nera!
Nera, 3 tahun, duduk di ujung bangku. Dia duduk nyaman cuma sekitar dua jari orang dewasa di pinggir bangku dengan kaki menggantung. Di sampingnya duduk seorang bapak bertubuh rada gemuk yang sedang menggendong bayi bersama istrinya. Nera kelihatan kecil sekali. Dia memakai sepatu sport dengan baju tanpa lengan berwarna oranye. Rambutnya masih basah.
"Mama mana?" kata Nera.
"Kamu nggak ke Sekolah Minggu," kataku.
"Aku mau gereja," kata dia.
"Mama ke Sekolah Minggu," kataku menjawab pertanyaannya.
Matanya berkaca. Nera memang lengket sama mamanya. Dia selalu ke mana-mana dengan mamanya. Pasti ada yang salah sampai Nera belok kiri ke Gereja Antonius dan mamanya menyusul ke arah kanan ke tempat SM.
"Kamu sama Ne aja, ya," kataku sambil mengambil tempat tak jauh dari bangkunya.
"Iya," kata dia masih dengan mata berkaca.
Sebenarnya aku mau keluar untuk menelepon mamanya. Tapi, mamanya nggak bawa telepon genggam. Kalau aku keluar Nera pasti mau ikut. Tempatnya tak mungkin diserobot orang, tapi posisi nyaman berdiriku pasti akan ditemapati orang lain. Jadi aku memilih konsentrasi untuk misa.
Hari itu Nera manis sekali. Memang dia rada pendiam. Tapi matanya yang lebar--beda tipis sama Dora the Explorer--bergerak lincah. Mulutnya juga komat-kamit seperti sedang berbicara dengan teman imajinasinya. Beberapa kali dia membenahi rambutnya yang keriwil-keriwil. Sesekali dia turun dari bangku melihat anak kecil di sampingnya. Suaranya yang cempreng dan sopran banget sama sekali tidak muncul.
Ketika sedang bersalaman diiringi lagu Salam Damai, aku mengenali bayangan berbaju kuning. Wulan, kakak Nera, sedang berusaha menerobos umat yang berjubel di dekat pintu. "Ne lihat Nera nggak?" Belum sempat dijawab Wulan langsung mendekati Nera. Sementara Nera kecil sedang bersalaman dengan bapak, si bayi, dan ibu yang duduk di sampingnya. Dia juga memberi tangannya pada Wulan.
"Ini anak bandel banget, dicariin Mama tahu," kata Wulan, kesal.
Aku buru-buru berjabat damai dengan mereka sebelum perang dimulai. Aku meminta Wulan kembali ke SM dan menemui mamanya. Kata Wulan, mamanya juga sedang mencari Nera di belahan gereja yang lain. Ternyata, Hani ada di dekat pintu belakang. Matanya sembab. Kita saling melemparkan kode bahwa Nera ada, nggak hilang. Wulan juga nggak mau kembali ke SM.
Hari itu Nera bikin heboh semua tetangganya. Salah satu om tetangga bahkan mengantar Hani keliling mencari Nera. Sebab, tak ada satu pun yang melihat Nera. Beberapa tetangga memastikan tidak mungkin Nera pergi sama aku, sebab mereka melihat aku jalan sendirian. Dugaan yang seram-seram pun muncul, jangan-jangan Nera diculik. "Aku menangis di jalan," kata Hani.
Nera yang bikin banyak orang dag dig dug tenang-tenang saja. Sampai sekarang kita juga tidak tahu kenapa dia ke gereja sendirian, tanpa mamanya. Nera tidak pernah menjawab setiap ditanya. Namun, cerita "Nera Hilang" menyebar cepat. "Oh ini Nera yang hilang itu," begitu antara lain sapaan orang yang sudah mendengar cerita itu. Seperti yang sudah-sudah, Nera diam seolah tak peduli.
Tadi pagi Nera dan mamanya datang ke rumahku. Nera memakai baju ruffle yang memamerkan lingkar bahu berwarna merah hati dan celana jin. Ada anting-anting gantung biru berbentuk jantung di kedua telinganya. Rambutnya dikepang dengan sebagian poni terurai. Kaca mata hitam berbingkai biru membandoi kepalanya. Centil.
"Nera bonita tebes (cantik sekali)," kataku.
"Nggak! Nera bidadari," kata dia.
"Kadonya baju bidadari aja, yang pakai sayap, biar Nera cantik."
Hari gini minta baju bidadari yang ada sayapnya, please deh....
Selamat ulang tahun yang ke-empat Neraku sayang, my Mexican baby!
Taksi yang membawaku melaju lancar. Jalanan lengang di Minggu yang agak mendung itu. Jam baru menunjukkan pukul 08.15 WIB. Masih ada waktu sekitar setengah jam sebelum misa dimulai. Aku bisa singgah sebentar di rumah abangku untuk menengok tiga keponakanku yang pasti sedang siap-siap Sekolah Minggu (SM).
Pintu rumah abangku terkunci. Bonty, anjing peliharaan mereka, juga tampak tenang. Duduk manis di tempatnya, di ujung tembok, tertutup beberapa pot bunga. Lehernya dirantai. Tumben tidak ada suara anak-anak. Ternyata abangku sedang ikut kebaktian pagi. Istrinya, Hani, sedang siap-siap ke tempat SM.
"Wulan dan Moses?" tanyaku.
"Sekolah Minggu," kata Hani.
"Nera?"
"Ke gereja."
"Ha?"
"Maksudnya ke Sekolah Minggu ding," kata Hani bersiap-siap menyusul Nera. Jarak antara rumah abangku dan gereja Pentakosta tempat SM sekitar 200 meter.
Nera memang masih harus ditunggui. Sebab, si kecil ini masih belum bisa diatur. Jika mau keluar, dia akan keluar. Belum lagi tiba-tiba ingat jajan dan Nera pergi begitu saja. Sebaliknya dia juga bisa tenang selama satu jam lebih di dalam kelas Antiokioa Kecil. Tergantung suasana hatinya, suka-suka.
Aku dan Hani keluar bareng. Aku belok kiri dan jalan kaki sekitar tujuh menit. Lumayan, buang-buang kalori:)
Ternyata gereja penuh Minggu itu. Seperti biasa aku mencari tempat duduk di kapel, di sisi kiri dalam gereja. Persis di sebelah kanan altar. Tapi, tidak ada tempat. Aku terpaksa keluar dan melirik-lirik tempat kosong. Nihil.
Keluar dari kapel aku mancari tempat berdiri yang nyaman. Harus dekat pintu dan banyak angin. Nggak boleh terlalu banyak orang. Aku butuh oksigen yang lebih banyak. Aku memilih duduk di bangku ke lima dari belakang. Ujung bangku persis di depan pintu.
Tiba-tiba aku merasa ada tangan kecil memegang rokku. Aku jalan terus. Tangan kecil itu mencengkeram rokku lebih kencang. Aku berhenti. Mencari tahu siapa yang berulah. Nera!
Nera, 3 tahun, duduk di ujung bangku. Dia duduk nyaman cuma sekitar dua jari orang dewasa di pinggir bangku dengan kaki menggantung. Di sampingnya duduk seorang bapak bertubuh rada gemuk yang sedang menggendong bayi bersama istrinya. Nera kelihatan kecil sekali. Dia memakai sepatu sport dengan baju tanpa lengan berwarna oranye. Rambutnya masih basah.
"Mama mana?" kata Nera.
"Kamu nggak ke Sekolah Minggu," kataku.
"Aku mau gereja," kata dia.
"Mama ke Sekolah Minggu," kataku menjawab pertanyaannya.
Matanya berkaca. Nera memang lengket sama mamanya. Dia selalu ke mana-mana dengan mamanya. Pasti ada yang salah sampai Nera belok kiri ke Gereja Antonius dan mamanya menyusul ke arah kanan ke tempat SM.
"Kamu sama Ne aja, ya," kataku sambil mengambil tempat tak jauh dari bangkunya.
"Iya," kata dia masih dengan mata berkaca.
Sebenarnya aku mau keluar untuk menelepon mamanya. Tapi, mamanya nggak bawa telepon genggam. Kalau aku keluar Nera pasti mau ikut. Tempatnya tak mungkin diserobot orang, tapi posisi nyaman berdiriku pasti akan ditemapati orang lain. Jadi aku memilih konsentrasi untuk misa.
Hari itu Nera manis sekali. Memang dia rada pendiam. Tapi matanya yang lebar--beda tipis sama Dora the Explorer--bergerak lincah. Mulutnya juga komat-kamit seperti sedang berbicara dengan teman imajinasinya. Beberapa kali dia membenahi rambutnya yang keriwil-keriwil. Sesekali dia turun dari bangku melihat anak kecil di sampingnya. Suaranya yang cempreng dan sopran banget sama sekali tidak muncul.
Ketika sedang bersalaman diiringi lagu Salam Damai, aku mengenali bayangan berbaju kuning. Wulan, kakak Nera, sedang berusaha menerobos umat yang berjubel di dekat pintu. "Ne lihat Nera nggak?" Belum sempat dijawab Wulan langsung mendekati Nera. Sementara Nera kecil sedang bersalaman dengan bapak, si bayi, dan ibu yang duduk di sampingnya. Dia juga memberi tangannya pada Wulan.
"Ini anak bandel banget, dicariin Mama tahu," kata Wulan, kesal.
Aku buru-buru berjabat damai dengan mereka sebelum perang dimulai. Aku meminta Wulan kembali ke SM dan menemui mamanya. Kata Wulan, mamanya juga sedang mencari Nera di belahan gereja yang lain. Ternyata, Hani ada di dekat pintu belakang. Matanya sembab. Kita saling melemparkan kode bahwa Nera ada, nggak hilang. Wulan juga nggak mau kembali ke SM.
Hari itu Nera bikin heboh semua tetangganya. Salah satu om tetangga bahkan mengantar Hani keliling mencari Nera. Sebab, tak ada satu pun yang melihat Nera. Beberapa tetangga memastikan tidak mungkin Nera pergi sama aku, sebab mereka melihat aku jalan sendirian. Dugaan yang seram-seram pun muncul, jangan-jangan Nera diculik. "Aku menangis di jalan," kata Hani.
Nera yang bikin banyak orang dag dig dug tenang-tenang saja. Sampai sekarang kita juga tidak tahu kenapa dia ke gereja sendirian, tanpa mamanya. Nera tidak pernah menjawab setiap ditanya. Namun, cerita "Nera Hilang" menyebar cepat. "Oh ini Nera yang hilang itu," begitu antara lain sapaan orang yang sudah mendengar cerita itu. Seperti yang sudah-sudah, Nera diam seolah tak peduli.
Tadi pagi Nera dan mamanya datang ke rumahku. Nera memakai baju ruffle yang memamerkan lingkar bahu berwarna merah hati dan celana jin. Ada anting-anting gantung biru berbentuk jantung di kedua telinganya. Rambutnya dikepang dengan sebagian poni terurai. Kaca mata hitam berbingkai biru membandoi kepalanya. Centil.
"Nera bonita tebes (cantik sekali)," kataku.
"Nggak! Nera bidadari," kata dia.
"Kadonya baju bidadari aja, yang pakai sayap, biar Nera cantik."
Hari gini minta baju bidadari yang ada sayapnya, please deh....
Selamat ulang tahun yang ke-empat Neraku sayang, my Mexican baby!