Hari Berkenan
Apa yang menyenangkan dari puasa? Makan berat sehari sekali. Begitu menurut aku. Sebab, pada saat Ramadan, aku bisa leluasa makan sehari sekali dengan teman-teman kantor. Di hari-hari biasa aku melakukan ini sendirian. Bukan karena aku puasa. Tapi, sudah sekitar tujuh tahun belakangan aku terbiasa makan sehari sekali. Meski tidak rutin aku memang terbiasa makan berat sehari sekali.
Bisa jadi karena inilah teman-teman mengira aku diet ketat. Ada teman yang mengatakan aku si usus kucing karena makannya sedikit. Bahkan ada yang mengatakan aku kurang gizi. Apapun deh penilain mereka, ada benarnya juga :)
Bagaimana ya, aku memang tidak terlalu perlu repot-repot memikirkan makanan dan minuman. Tidak makan nasi pun tak apa-apa, asal ada susu cokelat atau teh manis dengan biskuit atau cokelat, beres. Jika di kantor, makan semangkok bakwan malang si abang di bawah jembatan sudah cukup untuk sehari. Setelah puasa 12 jam, kadang-kadang aku cuma buka dengan teh hangat manis dan Bengbeng :)
Empat puluh hari menjelang Paskah atau tepatnya Rabu Abu, aku biasa berpuasa dan berpantang. Ini yang repot. Aku jarang berpuasa karena itu tadi aku memang makan sekali sehari. Tapi aku lebih memfokuskan diri pada berpantang. Misalnya pantang marah, bicara kasar, membalas kemarahan orang, ya seperti begitulah. Ini memang sulit banget. Kadang-kadang aku sendiri nggak sadar lagi marah atau meski dengan nada halus, perkataanku menusuk perasaan orang lain. Jadi ukurannya memang rada nggak jelas. Subyektif banget.
Tadi pagi, saat bersaat teduh, aku membaca tentang puasa yang dikehendaki Allah.
Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! Yesaya 58: 6-7.
Aku jadi teringat pernah menerima pesan singkat dari salah satu sepupuku. Intinya dia bilang bahwa puasa itu tidak sekadar menahan lapar dan haus, tapi memberikan jatah makan dan minum itu kepada orang lain. Hmmmm, kepada siapa aku akan membagikan rotiku hari ini?
Waktu ke kantor, aku naik bus. Semua tempat terisi. Aku berdiri di depan salah satu kursi. Beruntung banget cewek yang duduk di depanku bersiap-siap turun. Dengan sigap aku berusaha menempati kursinya. Tapi, ada kaki yang berusaha menghalangiku. Tapi, posisiku lebih mantap sehingga aku yang duduk. Sepintas aku sempat melihat pemilik kaki itu. Dia perempuan. Memakai blus lengan panjang putih senada dengan warna jilbabnya.
Aku memang merasa bersalah. Dudukku tidak tegap lagi. Tapi, aku juga tidak mau memberi dia tempat duduk. Aku kan hanya numpang bus ini sepanjang tol. Cuma sekitar 10 menit. Begitu keluar tol, dia bisa duduk.
Pintu tol sudah dekat. Aku pun bersiap-siap turun. Aku memberi tanda pada ibu muda itu agar duduk. Tentu saja dengan senyum. Dia sedang merapikan blusnya. Kemudian dia mempersilakan cowok yang berdiri di depanku untuk duduk. Tiba-tiba aku teringat, Sungguh-sungguh itukah yang kausebutkan berpuasa, mengadakan hari yang berkenan pada TUHAN? Yesaya 58: 5a.
Apa yang menyenangkan dari puasa? Makan berat sehari sekali. Begitu menurut aku. Sebab, pada saat Ramadan, aku bisa leluasa makan sehari sekali dengan teman-teman kantor. Di hari-hari biasa aku melakukan ini sendirian. Bukan karena aku puasa. Tapi, sudah sekitar tujuh tahun belakangan aku terbiasa makan sehari sekali. Meski tidak rutin aku memang terbiasa makan berat sehari sekali.
Bisa jadi karena inilah teman-teman mengira aku diet ketat. Ada teman yang mengatakan aku si usus kucing karena makannya sedikit. Bahkan ada yang mengatakan aku kurang gizi. Apapun deh penilain mereka, ada benarnya juga :)
Bagaimana ya, aku memang tidak terlalu perlu repot-repot memikirkan makanan dan minuman. Tidak makan nasi pun tak apa-apa, asal ada susu cokelat atau teh manis dengan biskuit atau cokelat, beres. Jika di kantor, makan semangkok bakwan malang si abang di bawah jembatan sudah cukup untuk sehari. Setelah puasa 12 jam, kadang-kadang aku cuma buka dengan teh hangat manis dan Bengbeng :)
Empat puluh hari menjelang Paskah atau tepatnya Rabu Abu, aku biasa berpuasa dan berpantang. Ini yang repot. Aku jarang berpuasa karena itu tadi aku memang makan sekali sehari. Tapi aku lebih memfokuskan diri pada berpantang. Misalnya pantang marah, bicara kasar, membalas kemarahan orang, ya seperti begitulah. Ini memang sulit banget. Kadang-kadang aku sendiri nggak sadar lagi marah atau meski dengan nada halus, perkataanku menusuk perasaan orang lain. Jadi ukurannya memang rada nggak jelas. Subyektif banget.
Tadi pagi, saat bersaat teduh, aku membaca tentang puasa yang dikehendaki Allah.
Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! Yesaya 58: 6-7.
Aku jadi teringat pernah menerima pesan singkat dari salah satu sepupuku. Intinya dia bilang bahwa puasa itu tidak sekadar menahan lapar dan haus, tapi memberikan jatah makan dan minum itu kepada orang lain. Hmmmm, kepada siapa aku akan membagikan rotiku hari ini?
Waktu ke kantor, aku naik bus. Semua tempat terisi. Aku berdiri di depan salah satu kursi. Beruntung banget cewek yang duduk di depanku bersiap-siap turun. Dengan sigap aku berusaha menempati kursinya. Tapi, ada kaki yang berusaha menghalangiku. Tapi, posisiku lebih mantap sehingga aku yang duduk. Sepintas aku sempat melihat pemilik kaki itu. Dia perempuan. Memakai blus lengan panjang putih senada dengan warna jilbabnya.
Aku memang merasa bersalah. Dudukku tidak tegap lagi. Tapi, aku juga tidak mau memberi dia tempat duduk. Aku kan hanya numpang bus ini sepanjang tol. Cuma sekitar 10 menit. Begitu keluar tol, dia bisa duduk.
Pintu tol sudah dekat. Aku pun bersiap-siap turun. Aku memberi tanda pada ibu muda itu agar duduk. Tentu saja dengan senyum. Dia sedang merapikan blusnya. Kemudian dia mempersilakan cowok yang berdiri di depanku untuk duduk. Tiba-tiba aku teringat, Sungguh-sungguh itukah yang kausebutkan berpuasa, mengadakan hari yang berkenan pada TUHAN? Yesaya 58: 5a.