<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6496619\x26blogName\x3d-::+L+O+V+E+will+S+E+T+you+F+R+E+E::\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://tinneke.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://tinneke.blogspot.com/\x26vt\x3d-6149671454343776068', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
Thursday, January 20, 2005
Nona Sempurna

Dua minggu sebelum mudik, sebagian pikiranku sudah ada di rumah. Orang-orang terdekat juga tidak protes mendapati aku sering tidak klik dengan mereka. Sebab, ini memang gejala rutin yang muncul menjelang masa cuti.

Aku selalu merasa ada yang kurang. Padahal, aku selalu membawa catatan kecil untuk memastikan semuanya beres menjelang dan seminggu setelah cuti. Tapi, tetap saja, aku seperti dikejar waktu. Persiapan Natal keluarga dan PAA terlihat kurang di sana sini. Padahal, rencananya sudah dipikirkan beberapa bulan sebelumnya.

Ini terjadi dari waktu ke waktu. Di puncak-puncak kekhawatiran acara tidak berjalan sesuai rencana, aku justru diingatkan untuk melupakan kesempurnaan. Selamat tinggal Nona Sempurna.

Kenapa?

Karena pulang kampung adalah kesempatan untuk menjadi anak kembali. Aku tidak perlu menjadi apapun. Aku hanya ingin menjadi anak dari ayah dan ibuku. Berbakti pada ayah dan ibuku dengan segala ketidaksempurnaanku.

Dua minggu memang terasa singkat untuk berbakti pada ayah dan ibuku. Karena itu aku merancang betul waktu buat teman-temanku. Cuma bertemu dua teman dalam waktu enam jam. Aku bahkan tidak mengunjungi apalagi menelepon sahabatku. Padahal, aku tahu betul dia ingin menunjukkan anak pertamanya. Selamat tinggal Nona Sempurna.

Tinggal jauh dari ayah dan ibu membuka mataku dari banyak hal. Termasuk benar-benar memanfaatkan waktu untuk mereka. Seminggu sebelum balik, kata-kata "Mah, mau minum teh?" terus berdengung di telingaku. Ya, itulah keinginanku. Aku ingin sekali membuat teh buat ayah dan ibuku setiap pagi, sore, atau kapanpun.

"Kok aku nggak pernah dibikinin teh," kakakku mengolok-olok. Aku tidak peduli. Sebab, dia pasti memprotes. Entah tehnya kurang gula atau kurang kental. Aku memang membuat teh buat ayah dan ibuku dengan sedikit gula dan teh kemasan yang dicelup sekejap. Ayah dan ibuku tidak akan protes. Sebaliknya, senang karena ada yang memperhatikan.

Bahkan, Ibuku selalu memuji sambal buatanku. Padahal, aku tahu persis bahwa itu untuk menyenangkan aku saja. Aku juga tahu diri, memang tidak pandai masak. Bukan karena aku nggak bisa (masak sih nggak bisa?). Tapi, di antara semua saudaraku aku yang memang tidak senang memasak dengan bumbu yang aneh-aneh itu. Kalau bisa semuanya rebus dan tanpa penyedap. Jadi, begitu aku masuk dapur, semua langsung berteriak. "Jangan. Jangan masak!"

Aku bahkan membiarkan Ibuku menyisir rambutku. Saudaraku tentu saja protes jika disisiri. Tapi, aku malah senang. Bahkan, Ibu juga yang memasak sendiri madu dengan lilin untuk mukaku. Sebaliknya, Ibuku juga membiarkan matanya aku "lukis" ketika akan ke pesta.

Ada satu lagi keinginanku yang belum kesampaian. Membersihkan gereja dengan teman-teman lingkungan atau menyempil dengan lingkungan yang lain. Mustinya aku bisa membersihkan gereja dengan lingkungan sepupuku, tapi nggak jadi. Tak masalah, good bye Nona Sempurna!

Rumah adalah sekolah paling baik bagi aku yang ingin semua serba teratur, rapi, sempurna. Apa sih kesempurnaan itu? Tak terukur. Aku tak bisa memaksakan definsi kesempurnaanku pada orang lain dan sebaliknya. Sebab, aku justru sering merasa sempurna karena ketidaksempurnaan orang lain dan sebaliknya orang lain merasa sempurna dengan memandang ketidaksempurnaanku. Jadi kenapa juga harus menjadi Nona Sempurna, jika itu justru membuat aku egois dan melakukan segala sesuatu dengan standar khas orang dewasa. Capek.

Aku tidak perlu malu karena tidak sempurna. Banyak kelemahan. Sebab hanya Allah yang sempurna. "...Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku (2 Korintus 12:9). Aku hanya ingin menjadi anak yang terus belajar menjadi sempurna dan terbuka untuk disempurnakan. Itu saja.


0 Comments :

Post a Comment

home

my book
It's my first book!
messages
Name :
Web URL :
Message :


archives
February 2004
March 2004
April 2004
May 2004
June 2004
July 2004
August 2004
September 2004
October 2004
November 2004
December 2004
January 2005
February 2005
March 2005
April 2005
May 2005
June 2005
July 2005
August 2005
September 2005
October 2005
November 2005
December 2005
January 2006
February 2006
March 2006
April 2006
May 2006
June 2006
July 2006
August 2006
September 2006
October 2006
November 2006
December 2006
January 2007
February 2007
March 2007
April 2007
May 2007
June 2007
July 2007
December 2007
January 2008
February 2008
May 2008
July 2008
August 2008
November 2008
January 2009
February 2009
March 2009
August 2009
October 2009
April 2011
June 2011
July 2011
November 2011
December 2011
April 2012
June 2012
November 2013
December 2014

links
Detik
Desa-Pelangi
Tempo
Kompas
Liputan6
Journey
Christian Women

resources
Tagboard
Blogger
Google
SXC
HTML
Haloscan
Gettyimages

hit counter
Free Web Counter

BlogFam Community