Malaikat
Malaikat dalam benakku adalah anak kecil. Berjubah warna putih atau broken white. Matanya bulat dan bening. Tanpa dosa. Bersayap. Itu dulu.
Malaikat dalam pendengaranku adalah paduan suara anak-anak. Merdu. Harmonis. Polos. Bernyanyi, bersukacita memuliakan Tuhan. "Kudus-kuduslah Tuhan, Alah segala kuasa. Surga dan bumi penuh kemuliaan-MU. Terpujilah Engkau di surga. Terpujilah yang datang dalam nama Tuhan. Terpujilah Engkau di surga."
Malaikat dalam pandanganku adalah kepercayaan anak-anak. Bergerak tanpa takut. Melangkah tanpa peduli risiko. Disuruh masuk got oleh orang dewasa pun mau. Sebab, dia melihat semua orang itu baik.
Malaikat dalam ingatanku adalah seruan anak-anak. "Ne, baca Firman, sekarang." "Kok datangnya telat!" "Kita main dong!" "Kok nggak pernah quiz Kitab Suci lagi." "Kita berdoa buat anak-anak yuuuk! "Kuenya apa hari ini!
Malaikat dalam perasaanku adalah pelukan anak-anak. Hangat. Tanpa napsu. Sarat dukungan. Lembut, menggeser lamunan, kecemasan, ketakutan, dan mimpi buruk. Tidak dalam lingkaran selebar lengan pria Irlandia (o o), tapi dengan kenyamanan yang setara, bahkan lebih.
Malaikat dalam memoriku adalah tatapan anak-anak. Teduh. Jauh dari curiga. Kadang-kadang ada kemarahan, tapi begitu cepat bersalin tawa dalam sekejap. Sorot sedih, kecewa, yang instan. Cahaya sukacita. Ceria tanpa mengenal waktu.
Malaikat dalam kesadaranku adalah cubitan, teriakan keras, kaki yang terinjak, tubuh yang bau, nenek sepuh, tukang sate Padang, Om koran, kenek, sopir, teman perjalanan, siapa saja yang memberi aku tempat duduk di angkutan umum, tukang ojek, wangi bunga mawar hutan saat berdoa... hmmm terlalu banyak. Semuanya menjadi inspirasi tentang kehadiran Tuhan.
Malaikat bagiku adalah seluruh hari dalam kalender. Puncaknya adalah Sabtu. Bisa separuh hari di akhir pekan itu atau beberapa jam yang bisa terasa lama atau cepat. Belajar, mengajar, bernyanyi, berdansa, berteriak, menggambar, ada yang jahil, menangis, menegur, bercanda, dicubit, dijambak, ditepuk keras dari sana-sini. Berisik.
Kemudian tenang. Kadang-kadang keheningan dipecahkan celetukan, "Ne, Yesus ada di sini." Mata yang belum mau terbuka meski sudah mengucapkan amin. Air mata yang menetes dari mata kecil salah satu anak. Atau diam yang terasa lama setelah menyanyikan lagu "Mari masuk, mari masuk, masuk hatiku, ya, Yesus. Datang sekarang, datang tinggal, dalam hatiku, ya Yesus!"
Malaikat bagiku adalah Moses, Nera, Wulan, Felix, Dedy, Tante Joice, Yoseph_RF... [tak cukup ditulis di sini, termasuk kamu, kamu, ya, kamu :)] siapa saja yang membuat aku melihat kasih dan kemuliaan Allah. Semua anak-anak. Semua mereka yang berhati, bersikap, dan memandang Allah seperti anak kecil. Sebab mereka begitu berharga. "Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini. Karena Aku berkata kepadamu: Ada malaikat mereka di sorga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di sorga." (Matius 18:10).
Malaikat dalam benakku adalah anak kecil. Berjubah warna putih atau broken white. Matanya bulat dan bening. Tanpa dosa. Bersayap. Itu dulu.
Malaikat dalam pendengaranku adalah paduan suara anak-anak. Merdu. Harmonis. Polos. Bernyanyi, bersukacita memuliakan Tuhan. "Kudus-kuduslah Tuhan, Alah segala kuasa. Surga dan bumi penuh kemuliaan-MU. Terpujilah Engkau di surga. Terpujilah yang datang dalam nama Tuhan. Terpujilah Engkau di surga."
Malaikat dalam pandanganku adalah kepercayaan anak-anak. Bergerak tanpa takut. Melangkah tanpa peduli risiko. Disuruh masuk got oleh orang dewasa pun mau. Sebab, dia melihat semua orang itu baik.
Malaikat dalam ingatanku adalah seruan anak-anak. "Ne, baca Firman, sekarang." "Kok datangnya telat!" "Kita main dong!" "Kok nggak pernah quiz Kitab Suci lagi." "Kita berdoa buat anak-anak yuuuk! "Kuenya apa hari ini!
Malaikat dalam perasaanku adalah pelukan anak-anak. Hangat. Tanpa napsu. Sarat dukungan. Lembut, menggeser lamunan, kecemasan, ketakutan, dan mimpi buruk. Tidak dalam lingkaran selebar lengan pria Irlandia (o o), tapi dengan kenyamanan yang setara, bahkan lebih.
Malaikat dalam memoriku adalah tatapan anak-anak. Teduh. Jauh dari curiga. Kadang-kadang ada kemarahan, tapi begitu cepat bersalin tawa dalam sekejap. Sorot sedih, kecewa, yang instan. Cahaya sukacita. Ceria tanpa mengenal waktu.
Malaikat dalam kesadaranku adalah cubitan, teriakan keras, kaki yang terinjak, tubuh yang bau, nenek sepuh, tukang sate Padang, Om koran, kenek, sopir, teman perjalanan, siapa saja yang memberi aku tempat duduk di angkutan umum, tukang ojek, wangi bunga mawar hutan saat berdoa... hmmm terlalu banyak. Semuanya menjadi inspirasi tentang kehadiran Tuhan.
Malaikat bagiku adalah seluruh hari dalam kalender. Puncaknya adalah Sabtu. Bisa separuh hari di akhir pekan itu atau beberapa jam yang bisa terasa lama atau cepat. Belajar, mengajar, bernyanyi, berdansa, berteriak, menggambar, ada yang jahil, menangis, menegur, bercanda, dicubit, dijambak, ditepuk keras dari sana-sini. Berisik.
Kemudian tenang. Kadang-kadang keheningan dipecahkan celetukan, "Ne, Yesus ada di sini." Mata yang belum mau terbuka meski sudah mengucapkan amin. Air mata yang menetes dari mata kecil salah satu anak. Atau diam yang terasa lama setelah menyanyikan lagu "Mari masuk, mari masuk, masuk hatiku, ya, Yesus. Datang sekarang, datang tinggal, dalam hatiku, ya Yesus!"
Malaikat bagiku adalah Moses, Nera, Wulan, Felix, Dedy, Tante Joice, Yoseph_RF... [tak cukup ditulis di sini, termasuk kamu, kamu, ya, kamu :)] siapa saja yang membuat aku melihat kasih dan kemuliaan Allah. Semua anak-anak. Semua mereka yang berhati, bersikap, dan memandang Allah seperti anak kecil. Sebab mereka begitu berharga. "Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini. Karena Aku berkata kepadamu: Ada malaikat mereka di sorga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di sorga." (Matius 18:10).