Esmeralda
Bertemu, makan, minum, ngobrol. Tak perlu ada rencana. Harus mendadak. Merry datang duluan. Ajaib memang. Mungkin pernikahan membuat dia lebih menghargai waktu :) Atau memang dia cuma punya waktu satu dua jam. Kata suaminya, dia akan ujian untuk S2-nya sore nanti.
Aku dan Lisa datang berduaan. Kita ketemu beberapa meter sebelum Bakmi Gang Kelinci di Pasar Baru, Jakarta Pusat. Tumben Lisa tepat waktu. Biasanya bisa molor sampai dua jam. Lisa malah yang lebih dahulu meneriaki aku dengan segelas Milo dingin di tangan.
Akhirnya kita bisa berkumpul lagi. Reuni. Dulu waktu kuliah kita pernah berikrar agar tidak berubah. Tetap jalan-jalan, makan-makan, berpetualang, nongkrong di sembarangan ruangan sampai diusir satpam.
Dengan Lisa aku masih bisa melakukan semua itu, termasuk nangkring di dua toko buku--bahkan tiga--dalam sehari. Tapi, tidak dengan Merry. Sejak dia menikah kita jarang ikut acara diskusi, berbicara tentang pergerakan, misa dan novena bareng, menghadiri berbagai acara, serta mewancarai narasumber. Saking jarang bertemu Merry, aku dan Lisa kembali berikrar untuk tidak akan berubah seiring dengan pergantian status.
"Pernikahan tidak mengubah apapun," kata Merry. Kita berdua kaget. Bagaimana tidak, tubuhnya saja sudah berubah, melar, [sedikit memang]. Dia juga cuma menghubungi kita kalau Kevin--anaknya--sakit dan ada urusan yang jauh dari unsur ketawa-ketiwi (hiks) "Terus kenapa menikah?" tanya kita berdua kompak. "Untuk membantu rencana Tuhan?" kata dia, ringan. Ha?
"Aku nggak mau menyusahkan Tuhan dengan menunda pernikahan. Sekarang terbukti suamiku menyokong penuh apa yang aku mau. Aku nggak yakin bisa seperti saat ini kalau menikah dengan orang lain," kata dia.
"Bagaimana kalau semua itu berubah di tengah jalan?"
"Itu kan risiko. Saat mengucap janji perkawinan di depan pastor, kita mengucap janji pada Tuhan untuk setia dalam susah dan senang bla bla bla." Ada banyak hal lagi yang dia bilang (obrolan perempuan). Dan itu membuat kita berdua sepakat bahwa Merry berubah.
Di luar itu Merry memang hampir memenuhi semua keinginannya seperti yang dia katakan waktu kuliah dahulu. Dia menikah dan mempunyai anak. Sejak kuliah aku sering memanggil dia Mama Kevin dan menyebut Lisa, Mama Ucok. Hari itu, kita berbicara banyak hal. Tak ada batasan waktu dan aturan.
Rasanya kita adalah tiga gadis kecil yang memakai jepit berpita warna-warni. Berbicara tentang mimpi, harapan, cerita lucu dan sedih, saling menguatkan, mengkritik satu sama lain, menasihati, mencela, berbagi rahasia, mengucapkan berbagai rencana ke depan.
Kita berjanji untuk lebih sering bertemu dengan kursus bareng bahasa Spanyol atau Italia (nyam nyam). Atau ambil kuliah ekstension atau mengikuti seminar. Pokoknya harus "bergerak" lagi. Merry sih enak, pegawai negeri jadi punya banyak waktu luang. Dengan jam kerja yang bukan seperti orang kantoran membuat aku agak sulit keluar kecuali hari libur. Padahal acara hari Libur sudah padat merayap. Begitu juga dengan Lisa. Tapi kita berdua selalu yakin jika Tuhan mau kita ikut kursus atau apapun, kita pasti bisa. Amin. Yeah!
Terus bagaimana dengan Esmeralda?" Aku tidak tahu dari mana mereka--kayaknya Lisa deh-- yang mulai menggunakan nama itu. Masak aku dipanggil Mama Esmeralda (?). Mustinya kan Madre he he. Mungkin karena aku suka dengan yang berbau Gypsy (tau gak ada komunitas Gypsy di Cina?), Spanyol, Italia, dan Portugis.
Waktu itu kita sama-sama berimajinasi, berkumpul lagi, Kevin dan Ucok bermain, terus berkelahi atau menggoda Esmeralda. Esmeralda dalam benak mereka adalah gadis kecil yang cantik, lincah, rajin belajar, serba teratur, ya, tipikal anak manis begitu. (Aku lupa, Esmeralda ini ada hubungannya dengan kekasihnya Quasimodo, si bongkok di Notre Dame, nggak ya?)
"Please deh! Itu kan imajinasi kalian, bukan aku!"
Tapi... Esmeralda lucu juga :) Aku bahkan sudah lupa tentang semua itu. Hmmmm, kayaknya kita memang harus sering ketemuan deh biar beberapa jam bisa "bermain rumah-rumahan" menjadi Kevin kecil, Ucok kecil, Esmeralda kecil, atau siapalah...

Aku dan Lisa datang berduaan. Kita ketemu beberapa meter sebelum Bakmi Gang Kelinci di Pasar Baru, Jakarta Pusat. Tumben Lisa tepat waktu. Biasanya bisa molor sampai dua jam. Lisa malah yang lebih dahulu meneriaki aku dengan segelas Milo dingin di tangan.
Akhirnya kita bisa berkumpul lagi. Reuni. Dulu waktu kuliah kita pernah berikrar agar tidak berubah. Tetap jalan-jalan, makan-makan, berpetualang, nongkrong di sembarangan ruangan sampai diusir satpam.
Dengan Lisa aku masih bisa melakukan semua itu, termasuk nangkring di dua toko buku--bahkan tiga--dalam sehari. Tapi, tidak dengan Merry. Sejak dia menikah kita jarang ikut acara diskusi, berbicara tentang pergerakan, misa dan novena bareng, menghadiri berbagai acara, serta mewancarai narasumber. Saking jarang bertemu Merry, aku dan Lisa kembali berikrar untuk tidak akan berubah seiring dengan pergantian status.
"Pernikahan tidak mengubah apapun," kata Merry. Kita berdua kaget. Bagaimana tidak, tubuhnya saja sudah berubah, melar, [sedikit memang]. Dia juga cuma menghubungi kita kalau Kevin--anaknya--sakit dan ada urusan yang jauh dari unsur ketawa-ketiwi (hiks) "Terus kenapa menikah?" tanya kita berdua kompak. "Untuk membantu rencana Tuhan?" kata dia, ringan. Ha?
"Aku nggak mau menyusahkan Tuhan dengan menunda pernikahan. Sekarang terbukti suamiku menyokong penuh apa yang aku mau. Aku nggak yakin bisa seperti saat ini kalau menikah dengan orang lain," kata dia.
"Bagaimana kalau semua itu berubah di tengah jalan?"
"Itu kan risiko. Saat mengucap janji perkawinan di depan pastor, kita mengucap janji pada Tuhan untuk setia dalam susah dan senang bla bla bla." Ada banyak hal lagi yang dia bilang (obrolan perempuan). Dan itu membuat kita berdua sepakat bahwa Merry berubah.
Di luar itu Merry memang hampir memenuhi semua keinginannya seperti yang dia katakan waktu kuliah dahulu. Dia menikah dan mempunyai anak. Sejak kuliah aku sering memanggil dia Mama Kevin dan menyebut Lisa, Mama Ucok. Hari itu, kita berbicara banyak hal. Tak ada batasan waktu dan aturan.
Rasanya kita adalah tiga gadis kecil yang memakai jepit berpita warna-warni. Berbicara tentang mimpi, harapan, cerita lucu dan sedih, saling menguatkan, mengkritik satu sama lain, menasihati, mencela, berbagi rahasia, mengucapkan berbagai rencana ke depan.
Kita berjanji untuk lebih sering bertemu dengan kursus bareng bahasa Spanyol atau Italia (nyam nyam). Atau ambil kuliah ekstension atau mengikuti seminar. Pokoknya harus "bergerak" lagi. Merry sih enak, pegawai negeri jadi punya banyak waktu luang. Dengan jam kerja yang bukan seperti orang kantoran membuat aku agak sulit keluar kecuali hari libur. Padahal acara hari Libur sudah padat merayap. Begitu juga dengan Lisa. Tapi kita berdua selalu yakin jika Tuhan mau kita ikut kursus atau apapun, kita pasti bisa. Amin. Yeah!

Waktu itu kita sama-sama berimajinasi, berkumpul lagi, Kevin dan Ucok bermain, terus berkelahi atau menggoda Esmeralda. Esmeralda dalam benak mereka adalah gadis kecil yang cantik, lincah, rajin belajar, serba teratur, ya, tipikal anak manis begitu. (Aku lupa, Esmeralda ini ada hubungannya dengan kekasihnya Quasimodo, si bongkok di Notre Dame, nggak ya?)
"Please deh! Itu kan imajinasi kalian, bukan aku!"
Tapi... Esmeralda lucu juga :) Aku bahkan sudah lupa tentang semua itu. Hmmmm, kayaknya kita memang harus sering ketemuan deh biar beberapa jam bisa "bermain rumah-rumahan" menjadi Kevin kecil, Ucok kecil, Esmeralda kecil, atau siapalah...