Respons Eby
Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia. (Korintus 15:58).
Sabar itu pahit tapi buahnya manis. Pepatah ini pas sekali untuk menggambarkan perubahan sikap Eby. Bocah berusia tiga tahun ini adalah salah satu teman kecilku di Pembinaan Anak-Anak (PAA). Kami bertemu setiap Sabtu.
Eby adalah tamu pertama. Gadis kecil berambut keriting ini selalu datang diantar kakaknya Tasya, 11 tahun. Setelah itu dia cuma diam dan melihat sekitar 19-an anak lain. Ketika diajak bicara dia diam atau menangis keras. Dia selalu minta pulang sekitar pukul 18.00 atau satu jam setengah setelah jadwal resmi PAA dimulai.
Mula-mula Eby mencubit keras kakaknya ketika aku berusaha menggendong dia. Lama-lama dia membiarkan aku menggendongnya dengan wajah tanpa ekspresi. Dia juga mulai berani memegang tanganku atau berdiri di samping kakaknya untuk menirukan beberapa gerakan. Meski tetap saja dia tidak pernah membalas satu pun senyumku yang cenderung diobral.
Suatu hari Minggu, aku berkunjung ke rumahnya. Aku dan temanku ingin mengobrol dengan ibunya. Namun, bisa dikatakan kunjungan keluarga kami itu gagal total. Boro-boro berbagi pengalaman iman tentang kasih Yesus, berbicara saja tidak nyaman. Sebab, saat bertamu, rumahnya sedang diperbaiki.
Tapi, aku baru tahu kenapa rambut Eby berbeda dengan Tasya yang rada lurus. Ayah Eby pendeta dan sedang berada di Papua. Dia tinggal di rumah Opanya bersama beberapa saudara ibunya yang sudah berkeluarga. Eby memang manja dan tidak bisa pisah dari ibunya.
Dua minggu kemudian, seperti biasa, Eby datang paling awal. Karena air pel belum kering, Abangku sengaja menutup pintu. PAA itu diselenggarakan di rumah Abangku. Tapi, Eby menunjukkan mukanya di balik jendela kamar. "Ne!" Untuk pertama kalinya Eby memanggilku. Suaranya sangat sangat sangat kencang.
Aku buru-buru membuka pintu. Dia menjawab semua pertanyaanku dengan lidah cadelnya seperti kita sudah sering mengobrol. Bukan cuma itu, Eby begitu bersemangat menyanyi dengan suara kencang pula. Semua nyanyian dengan gerakan diikutinya. Bahkan dia mau menari dengan teman-teman kecil lainnya meski ditertawakan anak-anak yang lebih besar. Eby malah balas tertawa. Lepas. Hari itu dia begitu sukacita. Benar-benar kejutan.
Tak kusangka, Eby baru mau menjadi temanku setelah tujuh bulan lebih. Dia juga mau tersenyum ketika dicium dan balas memelukku. Aku tidak tahu persis apa yang mengubah Eby. Apakah ada hubungannya dengan kunjungan rumah yang aku anggap gagal total itu? Entahlah.
Sabtu itu aku tidak saja berjoget lebih hot bersama Eby tapi juga bernyanyi keras memuji Tuhan sampai suaraku serak. Respons Eby membuat aku lebih bersemangat. Terima kasih Tuhan. Terima kasih Eby.
Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia. (Korintus 15:58).
Sabar itu pahit tapi buahnya manis. Pepatah ini pas sekali untuk menggambarkan perubahan sikap Eby. Bocah berusia tiga tahun ini adalah salah satu teman kecilku di Pembinaan Anak-Anak (PAA). Kami bertemu setiap Sabtu.
Eby adalah tamu pertama. Gadis kecil berambut keriting ini selalu datang diantar kakaknya Tasya, 11 tahun. Setelah itu dia cuma diam dan melihat sekitar 19-an anak lain. Ketika diajak bicara dia diam atau menangis keras. Dia selalu minta pulang sekitar pukul 18.00 atau satu jam setengah setelah jadwal resmi PAA dimulai.
Mula-mula Eby mencubit keras kakaknya ketika aku berusaha menggendong dia. Lama-lama dia membiarkan aku menggendongnya dengan wajah tanpa ekspresi. Dia juga mulai berani memegang tanganku atau berdiri di samping kakaknya untuk menirukan beberapa gerakan. Meski tetap saja dia tidak pernah membalas satu pun senyumku yang cenderung diobral.
Suatu hari Minggu, aku berkunjung ke rumahnya. Aku dan temanku ingin mengobrol dengan ibunya. Namun, bisa dikatakan kunjungan keluarga kami itu gagal total. Boro-boro berbagi pengalaman iman tentang kasih Yesus, berbicara saja tidak nyaman. Sebab, saat bertamu, rumahnya sedang diperbaiki.
Tapi, aku baru tahu kenapa rambut Eby berbeda dengan Tasya yang rada lurus. Ayah Eby pendeta dan sedang berada di Papua. Dia tinggal di rumah Opanya bersama beberapa saudara ibunya yang sudah berkeluarga. Eby memang manja dan tidak bisa pisah dari ibunya.
Dua minggu kemudian, seperti biasa, Eby datang paling awal. Karena air pel belum kering, Abangku sengaja menutup pintu. PAA itu diselenggarakan di rumah Abangku. Tapi, Eby menunjukkan mukanya di balik jendela kamar. "Ne!" Untuk pertama kalinya Eby memanggilku. Suaranya sangat sangat sangat kencang.
Aku buru-buru membuka pintu. Dia menjawab semua pertanyaanku dengan lidah cadelnya seperti kita sudah sering mengobrol. Bukan cuma itu, Eby begitu bersemangat menyanyi dengan suara kencang pula. Semua nyanyian dengan gerakan diikutinya. Bahkan dia mau menari dengan teman-teman kecil lainnya meski ditertawakan anak-anak yang lebih besar. Eby malah balas tertawa. Lepas. Hari itu dia begitu sukacita. Benar-benar kejutan.
Tak kusangka, Eby baru mau menjadi temanku setelah tujuh bulan lebih. Dia juga mau tersenyum ketika dicium dan balas memelukku. Aku tidak tahu persis apa yang mengubah Eby. Apakah ada hubungannya dengan kunjungan rumah yang aku anggap gagal total itu? Entahlah.
Sabtu itu aku tidak saja berjoget lebih hot bersama Eby tapi juga bernyanyi keras memuji Tuhan sampai suaraku serak. Respons Eby membuat aku lebih bersemangat. Terima kasih Tuhan. Terima kasih Eby.