Jenderal tanpa Ekspresi
"Papa kok kerja terus." Kata-kata ini meluncur dari mulut seorang gadis kecil ketika si ayah pamit pada dia dan Mamanya selesai makan siang. Waktu itu hari Minggu. Si ayah menatap putri semata wayangnya dengan wajah tanpa ekspresi. Tapi, matanya menunjukkan penyesalan. Dia tidak percaya anaknya belum juga memahami pekerjaannya. Sorot ayahnya membuat si anak sadar dia begitu egois. "Sejak itu saya tidak pernah lagi protes jika Papa pergi," kata si anak.
Si anak memang lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Ibu. Sebab, tak jarang ayahnya pamit pergi dua hari. Namun, bisa kembali dua bulan atau bahkan dua tahun. Karena itu, saat-saat bersama selalu dimanfaatkan betul. Namun, tetap saja, si anak mengaku tidak terlalu banyak bicara dengan ayahnya yang kata orang seram itu.
Sekali waktu, si anak meminta ayahnya membelikan dia celana Levi`s 501. "Kamu kan masih punya jean`s kenapa beli lagi," kata sang ayah, lagi-lagi tanpa ekspresi. Teguran ini membuat si anak tersentak. Kenapa sih mesti merepotkan ayahnya hanya untuk minta dibelikan sepotong jean`s. "Sejak itu saya berhenti meminta pada Papa dan gantian mendesak Mama agar dibelikan," ujar dia, disambut gelak kecil mereka yang mendengar kisah ini.
Tanpa disangka-sangka, dia dan ibunya mendapat SMS (layanan pesan singkat) dari orang-orang yang ternyata begitu memperhatikan keluarga mereka. Rupanya, diam-diam si ayah sering membantu orang, termasuk menyekolahkan beberapa anak. Di antara SMS yang masuk, ada satu yang membuat si anak dan ibunya terharu. Seseorang dari Malaysia mengatakan dia dan keluarganya dahulu dibawa keluar dari Malaysia saat kerusahan rasial di Kuala Lumpur 13 Mei 1969 oleh ayahnya. Mereka diselamatkan dengan pesawat helikopter. "Itulah Papa, dia membantu tanpa pandang bulu dan tak tak peduli dengan risikonya."
Ada banyak kenangan kecil tentang si ayah. Mulai dari membelikan sepeda mini pertamanya ketika dia berumur lima tahun. Warna sepedanya merah. Begitu juga dengan mengantarkan dan menjemput dia ke sekolah atau ke tempat les. Si ayah juga mengantarkan dia ke disko karena waktu itu dia berusia 17 tahun. Pada usia yang sama dia mendapatkan surat izin mengemudi (SIM), walau dia sudah sering mengemudi tanpa SIM dengan mobil ibunya. Surat ini dia peroleh dengan cara normal. Tanpa kolusi apalagi nepotisme. Meski dia anak jenderal dengan jabatan tinggi: Menhankam dan Panglima ABRI. "Saya memang selalu diajarkan untuk taat aturan," kata dia.
Meski anak tentara, si anak mengaku bahagia dibesarkan dalam keluarga yang sangat demokratis. Meski jarang berdebat dengan ayahnya--mungkin karena takut atau segan karena sang ayah lebih banyak diam--mereka selalu memutuskan semua masalah dengan cara yang sangat demokratis. "Saya, Papa, dan Mama selalu memutuskan suatu masalah dengan voting."
Terlalu banyak kenangan tentang sang ayah. Namun, ada suatu peristiwa yang tak mungkin lepas dari ingatan si putri yang juga ibu dari Hanna, Beata, Mabel, dan Daniel ini. Saat itu dia akan berangkat sekolah ke Amerika Serikat. Dia diantar oleh ayah, ibunya, Hartini, dan teman-temannya. Tibalah saat perpisahan dengan teman-teman dan ibunya.
Terakhir dia mendekati ayahnya. Keduanya berpelukan erat. Kira-kira setengah jam. Mereka seperti tidak mau terpisahkan. Keduanya menangis. "Saat itu saya bilang, Papa, anggap saja saya sedang liburan," kata dia menahan tangis. Ruangan sunyi. Beberapa tamu tampak menyeka air mata.
Beberapa tahun kemudian, si anak berada dalam situasi yang hampir sama. Sang ayah sekarat karena stroke dan dirawat di Rumah Sakit TNI Angkatan Darat Gatot Soebroto. Setelah koma, akhirnya sang ayah, Leonardus Benjamin Moerdani mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit TNI Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, 29 Agustus silam.
"Sekarang anggap saja Papa yang lagi liburan... [terdiam] dan kita akan bertemu lagi," kata Irene Ria Moerdani, pada acara perayaan 40 hari wafatnya L. B. Moerdani (1932-2004), di gedung CSIS, Jakarta, Senin (4/10).
"Papa kok kerja terus." Kata-kata ini meluncur dari mulut seorang gadis kecil ketika si ayah pamit pada dia dan Mamanya selesai makan siang. Waktu itu hari Minggu. Si ayah menatap putri semata wayangnya dengan wajah tanpa ekspresi. Tapi, matanya menunjukkan penyesalan. Dia tidak percaya anaknya belum juga memahami pekerjaannya. Sorot ayahnya membuat si anak sadar dia begitu egois. "Sejak itu saya tidak pernah lagi protes jika Papa pergi," kata si anak.
Si anak memang lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Ibu. Sebab, tak jarang ayahnya pamit pergi dua hari. Namun, bisa kembali dua bulan atau bahkan dua tahun. Karena itu, saat-saat bersama selalu dimanfaatkan betul. Namun, tetap saja, si anak mengaku tidak terlalu banyak bicara dengan ayahnya yang kata orang seram itu.
Sekali waktu, si anak meminta ayahnya membelikan dia celana Levi`s 501. "Kamu kan masih punya jean`s kenapa beli lagi," kata sang ayah, lagi-lagi tanpa ekspresi. Teguran ini membuat si anak tersentak. Kenapa sih mesti merepotkan ayahnya hanya untuk minta dibelikan sepotong jean`s. "Sejak itu saya berhenti meminta pada Papa dan gantian mendesak Mama agar dibelikan," ujar dia, disambut gelak kecil mereka yang mendengar kisah ini.
Tanpa disangka-sangka, dia dan ibunya mendapat SMS (layanan pesan singkat) dari orang-orang yang ternyata begitu memperhatikan keluarga mereka. Rupanya, diam-diam si ayah sering membantu orang, termasuk menyekolahkan beberapa anak. Di antara SMS yang masuk, ada satu yang membuat si anak dan ibunya terharu. Seseorang dari Malaysia mengatakan dia dan keluarganya dahulu dibawa keluar dari Malaysia saat kerusahan rasial di Kuala Lumpur 13 Mei 1969 oleh ayahnya. Mereka diselamatkan dengan pesawat helikopter. "Itulah Papa, dia membantu tanpa pandang bulu dan tak tak peduli dengan risikonya."
Ada banyak kenangan kecil tentang si ayah. Mulai dari membelikan sepeda mini pertamanya ketika dia berumur lima tahun. Warna sepedanya merah. Begitu juga dengan mengantarkan dan menjemput dia ke sekolah atau ke tempat les. Si ayah juga mengantarkan dia ke disko karena waktu itu dia berusia 17 tahun. Pada usia yang sama dia mendapatkan surat izin mengemudi (SIM), walau dia sudah sering mengemudi tanpa SIM dengan mobil ibunya. Surat ini dia peroleh dengan cara normal. Tanpa kolusi apalagi nepotisme. Meski dia anak jenderal dengan jabatan tinggi: Menhankam dan Panglima ABRI. "Saya memang selalu diajarkan untuk taat aturan," kata dia.
Meski anak tentara, si anak mengaku bahagia dibesarkan dalam keluarga yang sangat demokratis. Meski jarang berdebat dengan ayahnya--mungkin karena takut atau segan karena sang ayah lebih banyak diam--mereka selalu memutuskan semua masalah dengan cara yang sangat demokratis. "Saya, Papa, dan Mama selalu memutuskan suatu masalah dengan voting."
Terlalu banyak kenangan tentang sang ayah. Namun, ada suatu peristiwa yang tak mungkin lepas dari ingatan si putri yang juga ibu dari Hanna, Beata, Mabel, dan Daniel ini. Saat itu dia akan berangkat sekolah ke Amerika Serikat. Dia diantar oleh ayah, ibunya, Hartini, dan teman-temannya. Tibalah saat perpisahan dengan teman-teman dan ibunya.
Terakhir dia mendekati ayahnya. Keduanya berpelukan erat. Kira-kira setengah jam. Mereka seperti tidak mau terpisahkan. Keduanya menangis. "Saat itu saya bilang, Papa, anggap saja saya sedang liburan," kata dia menahan tangis. Ruangan sunyi. Beberapa tamu tampak menyeka air mata.
Beberapa tahun kemudian, si anak berada dalam situasi yang hampir sama. Sang ayah sekarat karena stroke dan dirawat di Rumah Sakit TNI Angkatan Darat Gatot Soebroto. Setelah koma, akhirnya sang ayah, Leonardus Benjamin Moerdani mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit TNI Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, 29 Agustus silam.
"Sekarang anggap saja Papa yang lagi liburan... [terdiam] dan kita akan bertemu lagi," kata Irene Ria Moerdani, pada acara perayaan 40 hari wafatnya L. B. Moerdani (1932-2004), di gedung CSIS, Jakarta, Senin (4/10).