Aku dan Ayah
Kata orang, anak laki-laki punya kecenderungan dekat dengan ibu dan anak perempuan dekat dengan ayahnya. Aku termasuk yang membenarkan itu. Meski kenyataan ini tidak berlaku bagi semua orang.
Aku nggak malu mengaku bahwa aku memang dekat dengan ayahku. Dekat sekali malah. Aku ingat hampir semua kejadian antara aku dan ayahku. Aku sendiri juga heran kenapa sih aku begitu dekat dengan ayahku yang super galak itu. Bahkan, Ibuku yang mantan pacar ayah itu kadang-kadang iri karena aku lebih lepas bercerita ke ayah daripada ibu.
Baru-baru ini seorang teman bertanya apakah ayah adalah cinta pertamaku? Aku tertawa. "Nggaklah nggak mungkin," kataku. Cinta pertamaku sama... (malu ah he he) Habis sampai sekarang kalau bertemu dia aku masih salah tingkah. Dia pastor sekarang (o o).
Hal yang paling aku inginkan sekarang adalah berada di dekat ayahku saat ini juga. Setiap ada masalah aku selalu ingat ayah. Bahkan, di puncak kekesalan dengan seseorang aku selalu berkata (dalam hati) "Awas, aku bilangin ayah tahu rasa!" Kata-kata ini sering aku keluarkan bila sebal sama saudara-saudaraku. Dasar anak ayah kata mereka.
Aku sering menggoda ibuku, "Mama salah pilih suami nih," dan ibuku menjawab, "Iya, salah nih!" Soalnya ibuku super romantis dan ayahku dingin habis. Ayahku sangat rasional dan nyaris tanpa hati. Ibuku sebaliknya. Ibuku juga sering mengatakan bahwa dia tidak mencintai ayahku dan mempertahankan perkawinan karena kami, anak-anaknya. "Nggak cinta kok anaknya enam ya," kataku menggoda. Ibu selalu tersenyum malu.
Begitulah. Aku tidak dibesarkan dalam keluarga harmonis. Tapi aku justru mencintai ayahku yang juga biang kerok dalam keluargaku. Mungkin itu adalah reaksiku untuk mempertahankan diri dalam situasi yang tidak menyenangkan. Aku menjadi anak kesayangannya supaya tidak dimarahi ayah. Atau ayah memang benar-benar sayang padaku tanpa alasan. "Saya tidak tega, dia begitu penakut dan penurut," kata ayah buka rahasia.
Bagaimana aku tidak penakut. Aku tidak pernah ke mana-mana tanpa ditemani saudara. Setiap makan aku dan adikku yang bungsu harus ada di meja makan. Sekali-kali aku bandel. Aku bermain sampai lupa jam makan siang atau malam. Tapi, aku akan dicari dan dimarahi oleh seluruh anggota keluarga. Ayahku tidak akan makan kalau aku tidak ada di meja makan. Sampai segede ini, setiap liburan, aku juga harus tetap ada di rumah setiap makan siang atau malam. Kalau tidak ayah tidak akan makan. Padahal, ayah dalam kondisi sakit. Aku memilih menjadi anak manis. Tidak rugi. Masakan ibu lebih enak dan aku memang liburan untuk mereka kan.
Ayah adalah sosok yang berkarakter kuat. Dia tidak pernah ke gereja tapi memaksa kami untuk ke gereja kalau perlu setiap hari. Dia juga tidak pernah aktif di kegiatan lingkungan tapi menginstruksi kami untuk rajin berdoa kelompok, koor, dan ikut bermacam-macam kegiatan. Ayah juga tidak pernah menyuruh kami belajar (aku sampai iri sama ayah teman-temanku yang memaksa anak-anaknya belajar) tapi dia yang akan menerima sendiri rapor kami dengan pakaian dinas jika nilai kami bagus.
Aku tidak pernah berani berbuat aneh-aneh. Sebab, ayah seperti punya mata dan telinga. Tiba-tiba saja dia akan bertanya tentang apa yang sedang aku sembunyikan. Ini terjadi berulang kali. Ayah jugalah yang sejak kecil mengarahkan aku untuk menjadi wartawan. Dia tidak pernah bosan menjawab pertanyaanku. Dia adalah teman diskusi pertamaku. Bahkan ketika kecil aku tidak bisa tidur tanpa mengusap-usap leher ayahku. Aku bahkan meminta ayah agar tidak mencukur licin bulu di lehernya. Ini tidak mungkin aku lakukan pada ibu. Begitu menyentuh lehernya, plak, tanganku langsung ditepok.
Aku ingat aku jarang sekali sakit. Kalaupun sakit ibu jarang membawaku ke dokter. Sebab, begitu mendengar suara ayah--yang sering jarang di rumah karena tugas--atau digendong ayah aku langsung sembuh. Panas dan demam lenyap nyap nyap.
Pertama kali kuliah di Jakarta, aku benar-benar takut. Tapi ayah yang mendorongku. Saat berpisah tidak ada satu titik air mata buat ibu. Sebaliknya, aku memeluk erat ayahku dan menangis terisak. Saat itu ayahku sengaja memakai kaca mata hitam dengan lensa besar dan topi baretta. Aku tahu dia sengaja memakai kaca mata dan topi untuk menyembunyikan air matanya.
Terlalu banyak kenangan tentang ayah. Aku juga tidak tahu kenapa aku menulis ini. Satu hal yang aku simpulkan bahwa aku mencintai ayah bukan karena kelebihannya. Tapi aku mengasihi dia karena aku tahu bahwa dia manusia biasa dengan segunung masalah sama seperti aku. Berangkat dari situlah aku bisa melihat begitu banyak hal baik dari dirinya.
Bahkan, ketika dia berada dalam sakral maut, aku pernah berdoa pada Tuhan, "Biarkan ayah yang hidup dan saya yang mati." Waktu itu aku masih sekolah dasar. Doa yang sama aku ucapkan ketika aku mahasiswa tingkat tiga, saat ayah diberikan sakramen pengurapan orang sakit karena serangan stroke. Aku memang selalu berada di sisi ayah di saat bahagia dan kritis. Mungkin karena itulah aku begitu mencintai ayahku. Sampai sekarang.
Aku tidak pernah berhenti bersyukur pada Tuhan karena telah memberi aku ayah dunia yang tidak sempurna. Sebab ayahkulah orang yang pertama mengenalkan aku pada Tuhan yang Maha Sempurna. Terima kasih Tuhan. I love you father, miss you much!
Kata orang, anak laki-laki punya kecenderungan dekat dengan ibu dan anak perempuan dekat dengan ayahnya. Aku termasuk yang membenarkan itu. Meski kenyataan ini tidak berlaku bagi semua orang.
Aku nggak malu mengaku bahwa aku memang dekat dengan ayahku. Dekat sekali malah. Aku ingat hampir semua kejadian antara aku dan ayahku. Aku sendiri juga heran kenapa sih aku begitu dekat dengan ayahku yang super galak itu. Bahkan, Ibuku yang mantan pacar ayah itu kadang-kadang iri karena aku lebih lepas bercerita ke ayah daripada ibu.
Baru-baru ini seorang teman bertanya apakah ayah adalah cinta pertamaku? Aku tertawa. "Nggaklah nggak mungkin," kataku. Cinta pertamaku sama... (malu ah he he) Habis sampai sekarang kalau bertemu dia aku masih salah tingkah. Dia pastor sekarang (o o).
Hal yang paling aku inginkan sekarang adalah berada di dekat ayahku saat ini juga. Setiap ada masalah aku selalu ingat ayah. Bahkan, di puncak kekesalan dengan seseorang aku selalu berkata (dalam hati) "Awas, aku bilangin ayah tahu rasa!" Kata-kata ini sering aku keluarkan bila sebal sama saudara-saudaraku. Dasar anak ayah kata mereka.
Aku sering menggoda ibuku, "Mama salah pilih suami nih," dan ibuku menjawab, "Iya, salah nih!" Soalnya ibuku super romantis dan ayahku dingin habis. Ayahku sangat rasional dan nyaris tanpa hati. Ibuku sebaliknya. Ibuku juga sering mengatakan bahwa dia tidak mencintai ayahku dan mempertahankan perkawinan karena kami, anak-anaknya. "Nggak cinta kok anaknya enam ya," kataku menggoda. Ibu selalu tersenyum malu.
Begitulah. Aku tidak dibesarkan dalam keluarga harmonis. Tapi aku justru mencintai ayahku yang juga biang kerok dalam keluargaku. Mungkin itu adalah reaksiku untuk mempertahankan diri dalam situasi yang tidak menyenangkan. Aku menjadi anak kesayangannya supaya tidak dimarahi ayah. Atau ayah memang benar-benar sayang padaku tanpa alasan. "Saya tidak tega, dia begitu penakut dan penurut," kata ayah buka rahasia.
Bagaimana aku tidak penakut. Aku tidak pernah ke mana-mana tanpa ditemani saudara. Setiap makan aku dan adikku yang bungsu harus ada di meja makan. Sekali-kali aku bandel. Aku bermain sampai lupa jam makan siang atau malam. Tapi, aku akan dicari dan dimarahi oleh seluruh anggota keluarga. Ayahku tidak akan makan kalau aku tidak ada di meja makan. Sampai segede ini, setiap liburan, aku juga harus tetap ada di rumah setiap makan siang atau malam. Kalau tidak ayah tidak akan makan. Padahal, ayah dalam kondisi sakit. Aku memilih menjadi anak manis. Tidak rugi. Masakan ibu lebih enak dan aku memang liburan untuk mereka kan.
Ayah adalah sosok yang berkarakter kuat. Dia tidak pernah ke gereja tapi memaksa kami untuk ke gereja kalau perlu setiap hari. Dia juga tidak pernah aktif di kegiatan lingkungan tapi menginstruksi kami untuk rajin berdoa kelompok, koor, dan ikut bermacam-macam kegiatan. Ayah juga tidak pernah menyuruh kami belajar (aku sampai iri sama ayah teman-temanku yang memaksa anak-anaknya belajar) tapi dia yang akan menerima sendiri rapor kami dengan pakaian dinas jika nilai kami bagus.
Aku tidak pernah berani berbuat aneh-aneh. Sebab, ayah seperti punya mata dan telinga. Tiba-tiba saja dia akan bertanya tentang apa yang sedang aku sembunyikan. Ini terjadi berulang kali. Ayah jugalah yang sejak kecil mengarahkan aku untuk menjadi wartawan. Dia tidak pernah bosan menjawab pertanyaanku. Dia adalah teman diskusi pertamaku. Bahkan ketika kecil aku tidak bisa tidur tanpa mengusap-usap leher ayahku. Aku bahkan meminta ayah agar tidak mencukur licin bulu di lehernya. Ini tidak mungkin aku lakukan pada ibu. Begitu menyentuh lehernya, plak, tanganku langsung ditepok.
Aku ingat aku jarang sekali sakit. Kalaupun sakit ibu jarang membawaku ke dokter. Sebab, begitu mendengar suara ayah--yang sering jarang di rumah karena tugas--atau digendong ayah aku langsung sembuh. Panas dan demam lenyap nyap nyap.
Pertama kali kuliah di Jakarta, aku benar-benar takut. Tapi ayah yang mendorongku. Saat berpisah tidak ada satu titik air mata buat ibu. Sebaliknya, aku memeluk erat ayahku dan menangis terisak. Saat itu ayahku sengaja memakai kaca mata hitam dengan lensa besar dan topi baretta. Aku tahu dia sengaja memakai kaca mata dan topi untuk menyembunyikan air matanya.
Terlalu banyak kenangan tentang ayah. Aku juga tidak tahu kenapa aku menulis ini. Satu hal yang aku simpulkan bahwa aku mencintai ayah bukan karena kelebihannya. Tapi aku mengasihi dia karena aku tahu bahwa dia manusia biasa dengan segunung masalah sama seperti aku. Berangkat dari situlah aku bisa melihat begitu banyak hal baik dari dirinya.
Bahkan, ketika dia berada dalam sakral maut, aku pernah berdoa pada Tuhan, "Biarkan ayah yang hidup dan saya yang mati." Waktu itu aku masih sekolah dasar. Doa yang sama aku ucapkan ketika aku mahasiswa tingkat tiga, saat ayah diberikan sakramen pengurapan orang sakit karena serangan stroke. Aku memang selalu berada di sisi ayah di saat bahagia dan kritis. Mungkin karena itulah aku begitu mencintai ayahku. Sampai sekarang.
Aku tidak pernah berhenti bersyukur pada Tuhan karena telah memberi aku ayah dunia yang tidak sempurna. Sebab ayahkulah orang yang pertama mengenalkan aku pada Tuhan yang Maha Sempurna. Terima kasih Tuhan. I love you father, miss you much!