<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6496619\x26blogName\x3d-::+L+O+V+E+will+S+E+T+you+F+R+E+E::\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://tinneke.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://tinneke.blogspot.com/\x26vt\x3d-6149671454343776068', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
Tuesday, October 26, 2004
Aku dan Ayah

Kata orang, anak laki-laki punya kecenderungan dekat dengan ibu dan anak perempuan dekat dengan ayahnya. Aku termasuk yang membenarkan itu. Meski kenyataan ini tidak berlaku bagi semua orang.

Aku nggak malu mengaku bahwa aku memang dekat dengan ayahku. Dekat sekali malah. Aku ingat hampir semua kejadian antara aku dan ayahku. Aku sendiri juga heran kenapa sih aku begitu dekat dengan ayahku yang super galak itu. Bahkan, Ibuku yang mantan pacar ayah itu kadang-kadang iri karena aku lebih lepas bercerita ke ayah daripada ibu.

Baru-baru ini seorang teman bertanya apakah ayah adalah cinta pertamaku? Aku tertawa. "Nggaklah nggak mungkin," kataku. Cinta pertamaku sama... (malu ah he he) Habis sampai sekarang kalau bertemu dia aku masih salah tingkah. Dia pastor sekarang (o o).

Hal yang paling aku inginkan sekarang adalah berada di dekat ayahku saat ini juga. Setiap ada masalah aku selalu ingat ayah. Bahkan, di puncak kekesalan dengan seseorang aku selalu berkata (dalam hati) "Awas, aku bilangin ayah tahu rasa!" Kata-kata ini sering aku keluarkan bila sebal sama saudara-saudaraku. Dasar anak ayah kata mereka.

Aku sering menggoda ibuku, "Mama salah pilih suami nih," dan ibuku menjawab, "Iya, salah nih!" Soalnya ibuku super romantis dan ayahku dingin habis. Ayahku sangat rasional dan nyaris tanpa hati. Ibuku sebaliknya. Ibuku juga sering mengatakan bahwa dia tidak mencintai ayahku dan mempertahankan perkawinan karena kami, anak-anaknya. "Nggak cinta kok anaknya enam ya," kataku menggoda. Ibu selalu tersenyum malu.

Begitulah. Aku tidak dibesarkan dalam keluarga harmonis. Tapi aku justru mencintai ayahku yang juga biang kerok dalam keluargaku. Mungkin itu adalah reaksiku untuk mempertahankan diri dalam situasi yang tidak menyenangkan. Aku menjadi anak kesayangannya supaya tidak dimarahi ayah. Atau ayah memang benar-benar sayang padaku tanpa alasan. "Saya tidak tega, dia begitu penakut dan penurut," kata ayah buka rahasia.

Bagaimana aku tidak penakut. Aku tidak pernah ke mana-mana tanpa ditemani saudara. Setiap makan aku dan adikku yang bungsu harus ada di meja makan. Sekali-kali aku bandel. Aku bermain sampai lupa jam makan siang atau malam. Tapi, aku akan dicari dan dimarahi oleh seluruh anggota keluarga. Ayahku tidak akan makan kalau aku tidak ada di meja makan. Sampai segede ini, setiap liburan, aku juga harus tetap ada di rumah setiap makan siang atau malam. Kalau tidak ayah tidak akan makan. Padahal, ayah dalam kondisi sakit. Aku memilih menjadi anak manis. Tidak rugi. Masakan ibu lebih enak dan aku memang liburan untuk mereka kan.

Ayah adalah sosok yang berkarakter kuat. Dia tidak pernah ke gereja tapi memaksa kami untuk ke gereja kalau perlu setiap hari. Dia juga tidak pernah aktif di kegiatan lingkungan tapi menginstruksi kami untuk rajin berdoa kelompok, koor, dan ikut bermacam-macam kegiatan. Ayah juga tidak pernah menyuruh kami belajar (aku sampai iri sama ayah teman-temanku yang memaksa anak-anaknya belajar) tapi dia yang akan menerima sendiri rapor kami dengan pakaian dinas jika nilai kami bagus.

Aku tidak pernah berani berbuat aneh-aneh. Sebab, ayah seperti punya mata dan telinga. Tiba-tiba saja dia akan bertanya tentang apa yang sedang aku sembunyikan. Ini terjadi berulang kali. Ayah jugalah yang sejak kecil mengarahkan aku untuk menjadi wartawan. Dia tidak pernah bosan menjawab pertanyaanku. Dia adalah teman diskusi pertamaku. Bahkan ketika kecil aku tidak bisa tidur tanpa mengusap-usap leher ayahku. Aku bahkan meminta ayah agar tidak mencukur licin bulu di lehernya. Ini tidak mungkin aku lakukan pada ibu. Begitu menyentuh lehernya, plak, tanganku langsung ditepok.

Aku ingat aku jarang sekali sakit. Kalaupun sakit ibu jarang membawaku ke dokter. Sebab, begitu mendengar suara ayah--yang sering jarang di rumah karena tugas--atau digendong ayah aku langsung sembuh. Panas dan demam lenyap nyap nyap.

Pertama kali kuliah di Jakarta, aku benar-benar takut. Tapi ayah yang mendorongku. Saat berpisah tidak ada satu titik air mata buat ibu. Sebaliknya, aku memeluk erat ayahku dan menangis terisak. Saat itu ayahku sengaja memakai kaca mata hitam dengan lensa besar dan topi baretta. Aku tahu dia sengaja memakai kaca mata dan topi untuk menyembunyikan air matanya.

Terlalu banyak kenangan tentang ayah. Aku juga tidak tahu kenapa aku menulis ini. Satu hal yang aku simpulkan bahwa aku mencintai ayah bukan karena kelebihannya. Tapi aku mengasihi dia karena aku tahu bahwa dia manusia biasa dengan segunung masalah sama seperti aku. Berangkat dari situlah aku bisa melihat begitu banyak hal baik dari dirinya.

Bahkan, ketika dia berada dalam sakral maut, aku pernah berdoa pada Tuhan, "Biarkan ayah yang hidup dan saya yang mati." Waktu itu aku masih sekolah dasar. Doa yang sama aku ucapkan ketika aku mahasiswa tingkat tiga, saat ayah diberikan sakramen pengurapan orang sakit karena serangan stroke. Aku memang selalu berada di sisi ayah di saat bahagia dan kritis. Mungkin karena itulah aku begitu mencintai ayahku. Sampai sekarang.

Aku tidak pernah berhenti bersyukur pada Tuhan karena telah memberi aku ayah dunia yang tidak sempurna. Sebab ayahkulah orang yang pertama mengenalkan aku pada Tuhan yang Maha Sempurna. Terima kasih Tuhan. I love you father, miss you much!


0 Comments :

Post a Comment

home

my book
It's my first book!
messages
Name :
Web URL :
Message :


archives
February 2004
March 2004
April 2004
May 2004
June 2004
July 2004
August 2004
September 2004
October 2004
November 2004
December 2004
January 2005
February 2005
March 2005
April 2005
May 2005
June 2005
July 2005
August 2005
September 2005
October 2005
November 2005
December 2005
January 2006
February 2006
March 2006
April 2006
May 2006
June 2006
July 2006
August 2006
September 2006
October 2006
November 2006
December 2006
January 2007
February 2007
March 2007
April 2007
May 2007
June 2007
July 2007
December 2007
January 2008
February 2008
May 2008
July 2008
August 2008
November 2008
January 2009
February 2009
March 2009
August 2009
October 2009
April 2011
June 2011
July 2011
November 2011
December 2011
April 2012
June 2012
November 2013
December 2014

links
Detik
Desa-Pelangi
Tempo
Kompas
Liputan6
Journey
Christian Women

resources
Tagboard
Blogger
Google
SXC
HTML
Haloscan
Gettyimages

hit counter
Free Web Counter

BlogFam Community