Ular Berbisa
Adikku yang cantik dan imut meneleponku di Minggu malam. Setelah ngalor ngidul dengan sederet "Ha?!!", "eh", "heeh","hmmm", "ooohhhwwww", dan csnya, kami memasuki pembicaraan lumayan serius: topeng.
"Kok bisa ya, orang betah hidup dengan kedok?" kata adikku.
"Yeee, bisalah. Aku juga kadang-kadang pake topeng. Bicara manis bangeeet, padahal benci setengah mati. Tapi, cepat sadar. Capek lagi kalau kelamaan, apalagi kalau sampai bertahun-tahun. Mending jujur, ga suka bilang nggak suka atau pasang muka busuk sekalian heheheh."
Memang, pasti capek bangeeet, menutupi habit atau kebiasaan yang mendarah daging. Mungkin lebih rendah sedikit atau sama susahnya dengan melepaskan diri dari jerat narkoba. Aku melihat sendiri bagaimana penderitaan seorang istri yang berharap pernikahan akan mengubah suaminya yang (cakeep bangettt) tukang selingkuh sejak mereka pertama kali kenalan. Tapi, dia salah. Dia malah punya kerjaan baru, "berkenalan" dengan perempuan-perempuan lain yang menjadi pacar gelap suaminya. Duuh!
Tapi, lebih celaka lagi, jika telanjur terjerat justru sama topeng seseorang (yang aduhhhhh nggak banget deeeh, ngeliat pas lagi mabok ya, heheheh). Yaaa, mungkin sudah takdir--meminjam istilah Wulan :). Jadi ingat lagu UIar Berbisa.
Oh seperti ular, seperti ular
Yang sangat berbisa, sangat berbisa
Suka memangsa, suka memangsaa
Diriku tergigit cintaaa (makanya jangan mabok, sadar euy, heheh)
Aku tertipu
Aku terjebak
Aku terperangkap muslihatmu
Sampai kapan orang bisa bertahan dengan kedoknya? Dia sama saja sedang membungkus bangkai, entah dengan wadah apa pun pasti akan tercium juga baunya. Atau serigala berbulu domba, pasti cakar dan taringnya akan muncul.
Kedok itu seperti bom waktu bunuh diri. Sewaktu-waktu akan meledak untuk menunjukkan siapa dia sebenarnya. Juga membunuh (syukur-syukur kalau cuma terluka) dirinya dan mungkin mangsanya. Fatal. Kalau sudah begini, nggak ada yang bisa menolong. Ini sudah masuk urusan Yang Di Atas. Hanya Tuhan yang sanggup menolong dan membalas. Sadis (seperti lagu Afgan :).
Adikku yang cantik dan imut meneleponku di Minggu malam. Setelah ngalor ngidul dengan sederet "Ha?!!", "eh", "heeh","hmmm", "ooohhhwwww", dan csnya, kami memasuki pembicaraan lumayan serius: topeng.
"Kok bisa ya, orang betah hidup dengan kedok?" kata adikku.
"Yeee, bisalah. Aku juga kadang-kadang pake topeng. Bicara manis bangeeet, padahal benci setengah mati. Tapi, cepat sadar. Capek lagi kalau kelamaan, apalagi kalau sampai bertahun-tahun. Mending jujur, ga suka bilang nggak suka atau pasang muka busuk sekalian heheheh."
Memang, pasti capek bangeeet, menutupi habit atau kebiasaan yang mendarah daging. Mungkin lebih rendah sedikit atau sama susahnya dengan melepaskan diri dari jerat narkoba. Aku melihat sendiri bagaimana penderitaan seorang istri yang berharap pernikahan akan mengubah suaminya yang (cakeep bangettt) tukang selingkuh sejak mereka pertama kali kenalan. Tapi, dia salah. Dia malah punya kerjaan baru, "berkenalan" dengan perempuan-perempuan lain yang menjadi pacar gelap suaminya. Duuh!
Tapi, lebih celaka lagi, jika telanjur terjerat justru sama topeng seseorang (yang aduhhhhh nggak banget deeeh, ngeliat pas lagi mabok ya, heheheh). Yaaa, mungkin sudah takdir--meminjam istilah Wulan :). Jadi ingat lagu UIar Berbisa.
Oh seperti ular, seperti ular
Yang sangat berbisa, sangat berbisa
Suka memangsa, suka memangsaa
Diriku tergigit cintaaa (makanya jangan mabok, sadar euy, heheh)
Aku tertipu
Aku terjebak
Aku terperangkap muslihatmu
Sampai kapan orang bisa bertahan dengan kedoknya? Dia sama saja sedang membungkus bangkai, entah dengan wadah apa pun pasti akan tercium juga baunya. Atau serigala berbulu domba, pasti cakar dan taringnya akan muncul.
Kedok itu seperti bom waktu bunuh diri. Sewaktu-waktu akan meledak untuk menunjukkan siapa dia sebenarnya. Juga membunuh (syukur-syukur kalau cuma terluka) dirinya dan mungkin mangsanya. Fatal. Kalau sudah begini, nggak ada yang bisa menolong. Ini sudah masuk urusan Yang Di Atas. Hanya Tuhan yang sanggup menolong dan membalas. Sadis (seperti lagu Afgan :).