Kalender Adven
Adven kali ini jatuh pada hari Minggu. Empat lilin yang menandakan empat pekan menjelang peringatan hari kelahiran bayi Yesus sudah disiapkan. Lilin pertama sudah dinyalakan.
Aku belum membuat kalender adven buat sahabat-sahabat kecilku. Padahal, tahun kemarin, hari-hari dalam kalender adven kami isi dengan berbagai hal. Setiap hari dalam kalender begitu berarti. Sebab, mereka tak sabar mengetahui petunjuk juga perintah dan hadiah yang akan mereka terima serta lakukan dalam sehari.
Semua perintah untuk satu hari aku masukkan dalam amplop yang ditujukan buat Mama, Oma, dan Papa masing-masing anak. Jadi mereka sama sekali tidak tahu apa yang akan mereka lakukan besok, besok, dan besoknya lagi hingga tanggal 25 Desember.
Di satu hari, (aku lupa tanggalnya) mereka datang ke tempatku untuk membuat hiasan pohon Natal. Di hari lain mereka harus membaca Kisah Natal dari Injil Lukas dan Matius. Memeluk orang tua mereka dan bilang "Aku sayang Mama, Papa, Opa..."
Dan, yang paling berisik ketika mereka disuruh datang ke tempatku untuk mengambil cokelat. Wulan keponakanku yang pagi-pagi datang meminta cokelat. Dan, aku belum sempat membeli cokelat dong :) Karena itu aku minta tolong Wulan sekalian bilang ke teman-temannya yang lain agar datang sore saja. Benar sekitar jam empat mereka datang dengan dua rombongan.
Aku memang sengaja menitipkan amplop berisi kegiatan yang mereka lakukan selama masa adven pada orang tua sahabat-sahabat kecilku. Biar orang tuanya juga ikut menyiapkan diri menyambut kedatangan bayi Yesus. Sebab, di salah satu hari, orang tua harus menceritakan tentang proses kelahiran anaknya dan mendoakan anaknya. Di lain hari, anak-anak harus menyanyikan lagu-lagu pujian dalam rumah, buat Mama, Papa, dan kakak adiknya. Belum lagi dengan menyapu halaman, membersihkan kaca jendela, sampai memberi senyum pada minimal lima orang dalam sehari.
Rumahku dihiasi kertas bertanggal milik Moses. Kertas pertanda hari-hari yang sudah dilewati sepanjang masa penantian itu dihiasi berbagai gambar warna-warni. Kemudian diikat dengan benang hijau dan ditempeli di dinding.
Masih ada tiga pekan lagi. Aku harus membuat kalender untuk tiga pekan menjelang Natal. Atau mungkin cuma satu minggu atau untuk 13 hari. Sebab, kemungkinan aku tidak bersama-sama mereka sampai hari ke-25. Tapi, aku harus membuat kalender adven buat mereka. Sebab, kalender adven membantu aku mengajarkan pada Wulan, Moses, dan Nera serta sahabat-sahabat kecilku untuk mempersiapkan diri menyambut Natal.
Di malam Natal setelah berdoa, Wulan, Moses, dan Nera tidur agar bisa bangun pagi-pagi dan membuka kado yang sudah ditaruh di bawah pohon Natal. Mereka memang tertarik pada kado-kado itu tapi begitu manis untuk tidak membuka sampai tanggal 25 Desember. Yang paling menyenangkan adalah mereka tahu bahwa makna Natal dan bisa menjawab dengan begitu mantap. "Ulang tahun Yesus!" Jadi, kado, baju baru, Santa Klaus hanya pelengkap perayaan, bukan Natal.
Tapi, sampai sekarang aku masih belum yakin bisa membuat kalender Adven, hiks...
Adven kali ini jatuh pada hari Minggu. Empat lilin yang menandakan empat pekan menjelang peringatan hari kelahiran bayi Yesus sudah disiapkan. Lilin pertama sudah dinyalakan.
Aku belum membuat kalender adven buat sahabat-sahabat kecilku. Padahal, tahun kemarin, hari-hari dalam kalender adven kami isi dengan berbagai hal. Setiap hari dalam kalender begitu berarti. Sebab, mereka tak sabar mengetahui petunjuk juga perintah dan hadiah yang akan mereka terima serta lakukan dalam sehari.
Semua perintah untuk satu hari aku masukkan dalam amplop yang ditujukan buat Mama, Oma, dan Papa masing-masing anak. Jadi mereka sama sekali tidak tahu apa yang akan mereka lakukan besok, besok, dan besoknya lagi hingga tanggal 25 Desember.
Di satu hari, (aku lupa tanggalnya) mereka datang ke tempatku untuk membuat hiasan pohon Natal. Di hari lain mereka harus membaca Kisah Natal dari Injil Lukas dan Matius. Memeluk orang tua mereka dan bilang "Aku sayang Mama, Papa, Opa..."
Dan, yang paling berisik ketika mereka disuruh datang ke tempatku untuk mengambil cokelat. Wulan keponakanku yang pagi-pagi datang meminta cokelat. Dan, aku belum sempat membeli cokelat dong :) Karena itu aku minta tolong Wulan sekalian bilang ke teman-temannya yang lain agar datang sore saja. Benar sekitar jam empat mereka datang dengan dua rombongan.
Aku memang sengaja menitipkan amplop berisi kegiatan yang mereka lakukan selama masa adven pada orang tua sahabat-sahabat kecilku. Biar orang tuanya juga ikut menyiapkan diri menyambut kedatangan bayi Yesus. Sebab, di salah satu hari, orang tua harus menceritakan tentang proses kelahiran anaknya dan mendoakan anaknya. Di lain hari, anak-anak harus menyanyikan lagu-lagu pujian dalam rumah, buat Mama, Papa, dan kakak adiknya. Belum lagi dengan menyapu halaman, membersihkan kaca jendela, sampai memberi senyum pada minimal lima orang dalam sehari.
Rumahku dihiasi kertas bertanggal milik Moses. Kertas pertanda hari-hari yang sudah dilewati sepanjang masa penantian itu dihiasi berbagai gambar warna-warni. Kemudian diikat dengan benang hijau dan ditempeli di dinding.
Masih ada tiga pekan lagi. Aku harus membuat kalender untuk tiga pekan menjelang Natal. Atau mungkin cuma satu minggu atau untuk 13 hari. Sebab, kemungkinan aku tidak bersama-sama mereka sampai hari ke-25. Tapi, aku harus membuat kalender adven buat mereka. Sebab, kalender adven membantu aku mengajarkan pada Wulan, Moses, dan Nera serta sahabat-sahabat kecilku untuk mempersiapkan diri menyambut Natal.
Di malam Natal setelah berdoa, Wulan, Moses, dan Nera tidur agar bisa bangun pagi-pagi dan membuka kado yang sudah ditaruh di bawah pohon Natal. Mereka memang tertarik pada kado-kado itu tapi begitu manis untuk tidak membuka sampai tanggal 25 Desember. Yang paling menyenangkan adalah mereka tahu bahwa makna Natal dan bisa menjawab dengan begitu mantap. "Ulang tahun Yesus!" Jadi, kado, baju baru, Santa Klaus hanya pelengkap perayaan, bukan Natal.
Tapi, sampai sekarang aku masih belum yakin bisa membuat kalender Adven, hiks...
Arisan
"Dah teman-teman, arisan dulu yeee..."
Senang sekali meninggalkan kantor lebih cepat untuk arisan. Dalam sebulan paling sedikit aku arisan sekali. Itu pun sudah nggak betul--pinjam istilah Moses kecilku. Sebab, bagiku arisan itu sama dengan keluar dari kantor dan berlari mengejar kupu-kupu cantik di taman. Sesuatu yang kudu sering dilakukan.
Begini, arisan yang aku maksud ini bukan dalam pengertian biasa. Tidak ada yang perlu dikocok atau diundi untuk mendapatkan sesuatu. Nggak sama sekali. Arisan dalam kamusku adalah pergi ke acara atau tempat atau apa pun itu namanya setelah pulang kantor. Jalan-jalan setelah pulang kantor juga termasuk arisan bagiku.
Dalam lima hari kerja, aku berusaha untuk bisa arisan pada Selasa, Rabu, dan Jumat. Senin sulit, terlalu seru. Kamis juga sama, terlalu menegangkan. Di hari pertama dan keempat ini beban tugasku rada lebih banyak. Aku harus tetap berada sekitar 10 jam di kantor. Padahal, setelah aku hitung, jam kerja produktifku cuma empat jam. Jadi, kalau tidak ada arisan, hitung saja karung-karung detik yang aku habiskan di kantor, hiks.
Aku jadi ingat salah seorang teman. Kita bertemu setelah dia selesai diwawancarai untuk bekerja di salah satu majalah wanita. Si pewawancara terlihat keheranan mendengar aktivitas temanku. "Jadi kegiatan kamu, itu kantor, klub penulis, dan gereja," si pewawancara bertanya. "Kenapa Bu, aneh ya?" kata temanku. "Nggak, nggak apa-apa juga kok," kata si ibu.
Kemudian kita berdua tertawa karena baru sadar bahwa aktivitas temanku ini ternyata memang berbentuk segi tiga seperti itu. Tentu saja dia menikmati semua kegiatannya. Meski aku tahu kegiatan di klub penulis mendapat porsi kecil dalam agenda bulanannya. Tapi, ada juga temanku yang kehidupanku cuma berhubungan dengan rumah-kantor dan sebaliknya. Dan, dia menikmati itu. Sepertinya begitu. Masing-masing orang memang beda. Ada yang memang betah di kantor.
Aku juga termasuk orang yang betah di kantor. Sebab, kantor bagiku sudah seperti rumah kedua. Teman-temanku seperti saudara. Suasananya juga begitu hangat dan akrab. Tapi, aku sering senewen juga mengingat kerja produktifku cuma empat jam... Gemas saja, masak di kantor terus. Kalau sudah beres kerja, tetap berlama-lama di kantor dengan alasan klasik: macet. Padahal, Jakarta miskin kendaraan hanya pas Lebaran pertama dan kedua :)
Tentu saja aku keluar kantor setelah semua urusanku beres. Jika mau arisan, aku mengerjakan pekerjaanku lebih dahulu. Kadang-kadang di ujung-ujung waktu, masih lagi diberi pekerjaan tambahan. Sebal juga sih. Ditambah lagi, keluar pas jam pulang kantor kerap bikin makan hati. Beberapa kali aku diturunkan di pinggir jalan tol dan harus menyeberangi jalan yang lebar banget itu. Mengerikan.
Tapi, tenang. Aku punya Om ojek yang stand by di depan kantor. Bersama dia aku bisa ke berbagai tempat tanpa terlambat. Lagian telat beberapa menit, kan biasa. Sepanjang perjalanan dia tidak berhenti bercerita tentang berbagai hal. Tapi, dia paling getol bicara politik. Seru! Eh, tahu-tahu aku sudah sampai di tempat tujuan.
Aku jarang arisan di waktu libur, Sabtu dan Minggu. Kalau pun ada, aku cuma bisa arisan pada Sabtu di waktu pagi hingga jam empat sore. Lebih dari itu, nggaklah. Aku punya jadwal tetap dengan anak-anak tersayangku. Sedangkan Minggu, aku lebih senang beraktivitas dengan keluarga.
Lumayan juga, dengan arisan ini aku sudah mengumpulkan beberapa sertifikat. Menghadiri berbagai acara musik hingga politik. Ikut persekutuan doa dari beberapa gereja. Ikut beberapa pertemuan. Bertemu orang dari berbagai ragam latar belakang. Semuanya sangat menyenangkan--mengutip lagi kata yang sering diucapkan Moses kecilku.
Kemarin misalnya aku diajak teman mengikuti acara peluncuran sebuah majalah gaya hidup. Acaranya di sebuah plasa di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat. Di antara ingar bingar musik, pundakku ditepuk seseorang. "Mbak, masih ingat aku?" Ternyata Siti, salah satu reporter majalah perempuan yang gedung kantornya bersebelahan dengan tempatku bekerja. "Liputan atau... sama teman," dia bertanya.
Pertanyaan yang sama juga meluncur dari teman baruku dari Jepang. "Untuk bisnis atau...?" ujar perempuan yang kulitnya matang setelah berjemur di pantai di Lombok, Nusatenggara Barat. "Kerja cukup di kantor saja, di sini untuk senang-senang," kataku tertawa.
Dengan teman baruku ini kita bicara banyak tentang Jepang, termasuk Putri Sayako. Putri semata wayang Kaisar Akihito dan Putri Michiko ini akhirnya resmi menikah dengan Yoshiki Kuroda, pegawai pemerintah di Tokyo. Ternyata temanku ini juga termasuk orang yang ingin sekali melihat putri yang juga peneliti burung itu cepat-cepat menikah dan keluar dari tradisi yang mengungkung dia selama itu.
Dengan bersemangat dia bercerita tentang salah satu alasan menikah dengan pria asing adalah agar bisa cepat-cepat angkat kaki dari negerinya. Dia tetap cinta pada tanah leluhurnya. Tapi, dia juga mengaku tak tahan melihat banyak perempuan seumuran dia yang hidup begitu-begitu saja. "Makin tahun bertambah tua dan tua," kata dia.
Yang aku tangkap dari kata-kata temanku itu adalah hasrat untuk menikmati dan mengisi setiap jengkal hidupnya dengan hal-hal yang dia inginkan. Melakukan banyak hal untuk mengembangkan dirinya. Tidak berputar-putar dalam lingkaran yang itu-itu saja. Seperti yang aku lakukan saat arisan.
"Dah teman-teman, arisan dulu yeee..."
Senang sekali meninggalkan kantor lebih cepat untuk arisan. Dalam sebulan paling sedikit aku arisan sekali. Itu pun sudah nggak betul--pinjam istilah Moses kecilku. Sebab, bagiku arisan itu sama dengan keluar dari kantor dan berlari mengejar kupu-kupu cantik di taman. Sesuatu yang kudu sering dilakukan.
Begini, arisan yang aku maksud ini bukan dalam pengertian biasa. Tidak ada yang perlu dikocok atau diundi untuk mendapatkan sesuatu. Nggak sama sekali. Arisan dalam kamusku adalah pergi ke acara atau tempat atau apa pun itu namanya setelah pulang kantor. Jalan-jalan setelah pulang kantor juga termasuk arisan bagiku.
Dalam lima hari kerja, aku berusaha untuk bisa arisan pada Selasa, Rabu, dan Jumat. Senin sulit, terlalu seru. Kamis juga sama, terlalu menegangkan. Di hari pertama dan keempat ini beban tugasku rada lebih banyak. Aku harus tetap berada sekitar 10 jam di kantor. Padahal, setelah aku hitung, jam kerja produktifku cuma empat jam. Jadi, kalau tidak ada arisan, hitung saja karung-karung detik yang aku habiskan di kantor, hiks.
Aku jadi ingat salah seorang teman. Kita bertemu setelah dia selesai diwawancarai untuk bekerja di salah satu majalah wanita. Si pewawancara terlihat keheranan mendengar aktivitas temanku. "Jadi kegiatan kamu, itu kantor, klub penulis, dan gereja," si pewawancara bertanya. "Kenapa Bu, aneh ya?" kata temanku. "Nggak, nggak apa-apa juga kok," kata si ibu.
Kemudian kita berdua tertawa karena baru sadar bahwa aktivitas temanku ini ternyata memang berbentuk segi tiga seperti itu. Tentu saja dia menikmati semua kegiatannya. Meski aku tahu kegiatan di klub penulis mendapat porsi kecil dalam agenda bulanannya. Tapi, ada juga temanku yang kehidupanku cuma berhubungan dengan rumah-kantor dan sebaliknya. Dan, dia menikmati itu. Sepertinya begitu. Masing-masing orang memang beda. Ada yang memang betah di kantor.
Aku juga termasuk orang yang betah di kantor. Sebab, kantor bagiku sudah seperti rumah kedua. Teman-temanku seperti saudara. Suasananya juga begitu hangat dan akrab. Tapi, aku sering senewen juga mengingat kerja produktifku cuma empat jam... Gemas saja, masak di kantor terus. Kalau sudah beres kerja, tetap berlama-lama di kantor dengan alasan klasik: macet. Padahal, Jakarta miskin kendaraan hanya pas Lebaran pertama dan kedua :)
Tentu saja aku keluar kantor setelah semua urusanku beres. Jika mau arisan, aku mengerjakan pekerjaanku lebih dahulu. Kadang-kadang di ujung-ujung waktu, masih lagi diberi pekerjaan tambahan. Sebal juga sih. Ditambah lagi, keluar pas jam pulang kantor kerap bikin makan hati. Beberapa kali aku diturunkan di pinggir jalan tol dan harus menyeberangi jalan yang lebar banget itu. Mengerikan.
Tapi, tenang. Aku punya Om ojek yang stand by di depan kantor. Bersama dia aku bisa ke berbagai tempat tanpa terlambat. Lagian telat beberapa menit, kan biasa. Sepanjang perjalanan dia tidak berhenti bercerita tentang berbagai hal. Tapi, dia paling getol bicara politik. Seru! Eh, tahu-tahu aku sudah sampai di tempat tujuan.
Aku jarang arisan di waktu libur, Sabtu dan Minggu. Kalau pun ada, aku cuma bisa arisan pada Sabtu di waktu pagi hingga jam empat sore. Lebih dari itu, nggaklah. Aku punya jadwal tetap dengan anak-anak tersayangku. Sedangkan Minggu, aku lebih senang beraktivitas dengan keluarga.
Lumayan juga, dengan arisan ini aku sudah mengumpulkan beberapa sertifikat. Menghadiri berbagai acara musik hingga politik. Ikut persekutuan doa dari beberapa gereja. Ikut beberapa pertemuan. Bertemu orang dari berbagai ragam latar belakang. Semuanya sangat menyenangkan--mengutip lagi kata yang sering diucapkan Moses kecilku.
Kemarin misalnya aku diajak teman mengikuti acara peluncuran sebuah majalah gaya hidup. Acaranya di sebuah plasa di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat. Di antara ingar bingar musik, pundakku ditepuk seseorang. "Mbak, masih ingat aku?" Ternyata Siti, salah satu reporter majalah perempuan yang gedung kantornya bersebelahan dengan tempatku bekerja. "Liputan atau... sama teman," dia bertanya.
Pertanyaan yang sama juga meluncur dari teman baruku dari Jepang. "Untuk bisnis atau...?" ujar perempuan yang kulitnya matang setelah berjemur di pantai di Lombok, Nusatenggara Barat. "Kerja cukup di kantor saja, di sini untuk senang-senang," kataku tertawa.
Dengan teman baruku ini kita bicara banyak tentang Jepang, termasuk Putri Sayako. Putri semata wayang Kaisar Akihito dan Putri Michiko ini akhirnya resmi menikah dengan Yoshiki Kuroda, pegawai pemerintah di Tokyo. Ternyata temanku ini juga termasuk orang yang ingin sekali melihat putri yang juga peneliti burung itu cepat-cepat menikah dan keluar dari tradisi yang mengungkung dia selama itu.
Dengan bersemangat dia bercerita tentang salah satu alasan menikah dengan pria asing adalah agar bisa cepat-cepat angkat kaki dari negerinya. Dia tetap cinta pada tanah leluhurnya. Tapi, dia juga mengaku tak tahan melihat banyak perempuan seumuran dia yang hidup begitu-begitu saja. "Makin tahun bertambah tua dan tua," kata dia.
Yang aku tangkap dari kata-kata temanku itu adalah hasrat untuk menikmati dan mengisi setiap jengkal hidupnya dengan hal-hal yang dia inginkan. Melakukan banyak hal untuk mengembangkan dirinya. Tidak berputar-putar dalam lingkaran yang itu-itu saja. Seperti yang aku lakukan saat arisan.