<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6496619\x26blogName\x3d-::+L+O+V+E+will+S+E+T+you+F+R+E+E::\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://tinneke.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://tinneke.blogspot.com/\x26vt\x3d-6149671454343776068', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
Thursday, June 29, 2006
12 3 9

"Bapa takut?"

"Iya, Bapa takut."

Itulah percakapan terakhir aku dan Bapaku saat Paskah kemarin. Waktu itu aku terdiam lama dan akhirnya berkata. "Rasul Paulus bilang: "Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan." Kemudian kita berdua diam. Lama.

Bapa tergolek lemah di rumah sakit saat aku menengoknya Kamis pekan silam. Waktu itu sekitar jam sembilan malam lebih. Lubang hidungnya ditempeli selang oksigen dan selang makanan. Pandangan matanya kosong dan biji matanya berlari pelan ke kiri dan kanan. Ada jarum infus di tangan kanannya. Badannya panas.

"Ba, ini Ne." Napasnya memburu dan tangan kiri dan kakinya bergetar hebat. Aku mencium hidungnya, kedua pipinya, dan keningnya. Aku berdoa di telinga kanannya. Rasanya tidak puas bicara di telinganya saja. Aku mau Bapa melihat aku bicara.

Aku pindah di sisi kanan, agar bisa melihat Bapa. Bola matanya masih berputar-putar tanpa bisa melihatku. Tapi aku memaksa bicara di depan Bapa.

"Bapa takut?" aku bertanya.

Seluruh tubuhnya bergetar hebat. Bahu kanannya juga ikut bergerak. Bapa berusaha bicara. Namun tidak ada kata yang keluar. Suaranya tertahan di tenggorokan. Bibirnya bergerak dan akhirnya membentuk gerakan seperti orang meniup balon. "Ufffffffffff!" Kami bertatapan lama. Aku berusaha tersenyum. Jangan sampai ada air mata. Akhirnya Bapa menutup sendiri matanya. Tertidur sebentar. Aku takut.

Sakit tidak membuat Bapa kehilangan semangat untuk menyenangkan kami. Bapa memberi reaksi dengan jari kelingking kirinya. Bahkan Bapa sempat menendang dengan kaki kirinya ketika kakakku Lita meminta "Bung Clemens" menendang bola untuk kesebelasan favoritnya Belanda. Kami semua tertawa.

Kami semua, enam anaknya, eh tujuh ditambah Nora, bercerita yang lucu-lucu saat kita kecil. Bapa menggerakkan tangan kirinya. Kami juga memutarkan lagu kesayangannya: Green-Green Grass of Home. Setiap berdoa kami selalu menyanyikan lagu yang sering dinyanyikan Bapa belakangan ini.

Sisa hidupku ini
Ku serahkan buat Tuhan
Untuk melayani-MU
Sampai akhir hidupku

Oh Tuhan, saya lemah
Brikan kuasa Firman-Mu
untuk menjadi pekerja-MU


Sabtu, 17 Juni, sekitar jam sembilan kami berdoa bersama. Ruangan penuh. Seperti sedang doa lingkungan saja. Om Dion yang memimpin doa berbicara dalam bahasa Manggarai pada Bapa. Intinya sebagai Om, dia menyampaikan terima kasih kami--Mama dan anak-anak--pada Bapa. Berkali-kali dalam doa, Om Dion meminta kesembuhan dari Tuhan.

Di tengah doa, satu persatu kami, mulai dari Mama hingga adik bungsuku berdoa. Kami semua meminta maaf, berterima kasih, dan bicara pada Tuhan tentang semua kebaikan Bapa terhadap kami.

Jam setengah 12 malam aku memberikan obat tidur dan darah tinggi lewat selang. Tak lama kemudian batuk dan mengeluarkan cairan bening dari mulutnya. Panasnya juga tidak turun meski sudah dikompres dan disuntik. Dokter yang datang meminta kami semua tetap berdoa karena Bapa dalam kondisi sekarat.

Semua keluarga dekat dihubungi. Satu per satu keluarga berdatangan di pagi buta itu. Setiap orang berbisik di telinga Bapa. Kami mengelilingi Bapa. Kami berdoa meminta Roh Kudus menuntun kami untuk berdoa dengan benar, membaca Firman dan memuji yang seturut kehendak Allah. Kami tidak putus-putus berdoa, membaca firman, dan bernyanyi.

Ujung kaki Bapa mulai dingin. Tangan kirinya yang terus kugenggam masih panas. Tubuh Bapa bergetar keras persis setelah aku membaca, "TUHAN membebaskan orang-orang yang terkurung." (Mazmur 146:7b). Guncangan keras itu membuat aku berhenti membaca.

Ronny adikku menyuruh aku terus membaca. Aku melanjutkan, "TUHAN membuka mata orang-orang buta, TUHAN menegakkan orang yang tertunduk, TUHAN mengasihi orang-orang benar. TUHAN menjaga orang-orang asing, anak yatim dan janda ditegakkan-Nya kembali, tetapi jalan orang fasik dibengkokkan-Nya. TUHAN itu Raja untuk selama-lamanya, Allahmu, ya Sion, turun-temurun! Haleluya!"

Aku tahu napas Bapa sudah berhenti. Kemah kediamannya dibongkar tepat tanggal 18, sama dengan tanggal kelahirannya. Dua belas tahun, tiga bulan, sembilan hari Bapa bergelut dengan stroke. Terlalu berat salib yang dipikul. Kami semua mengantar dan melepas Bapa dengan penuh cinta. Aku lega. Puji Tuhan. Haleluya! Daaaaahhhhhhhhh Baaaaa.

Tuesday, June 13, 2006
Menunggu Finis

Urusan dalam negeriku hampir rampung. Sampai sekarang aku belum tahu ujungnya. Penasaran melihat finis. Tapi, tetap kalem dong, mau sabar menunggu hingga harinya.

Aku seperti sedang menunggu pesanan es krim di kedai es krim yang paling enak. Cukup lama aku mencari kedai es krim, dan akhirnya berhenti di sini. Di sekitarku begitu banyak es krim dengan rasa dan bentuk yang menggoda. Aku bisa menunjuk, bisa minta mas dan mbak mencampur rasa. Tapi, ternyata tidak semua yang ada di daftar menu dan di etalase tersedia. Hiks.

Akhirnya aku bosan dan mulai siap-siap keluar dari kedai es krim itu. Tapi, saat akan beranjak, penjaga kedai itu mencegat. Dia menawarkan es krim lain. Aku menolak dan bergegas. Akhirnya si pemilik kedai turun sendiri menahanku.

Dia bicara dengan pelan dan lembut. "Aku akan memberi es krim dengan rasa cokelat dan strawberi sesuai keinginanmu. Tapi selebihnya aku yang atur." Aku terdiam. Setuju. Duduk kembali.

Aku mulai merenung. Aku cuma ingin es krim rasa cokelat dan strawberi. Tidak ada kacang nggak apa-apa. Kemasan nggak penting. Lagipula aku berada di tangan yang ahli.

"Jika es krim itu sudah dihidangkan, nikmatilah. Kamu pasti menyukai," kata pemilik kedai.

Aku belum menjawab. Tapi, aku yakin akan tergila-gila pada es krim itu. Aku masih menunggu es krim itu terhidang...

Saturday, June 10, 2006
Ron

Bravo Piala Dunia 2006. Yes! Yes! Ada beberapa malam aku nggak kerja selain menonton duel kesebelasan kelas dunia di lapangan rumput yang menyegarkan mata. Sebab, beberapa jadwal pertandingan bersamaan dengan waktu tayang Liputan 6 Malam. Menyenangkan sekali.

Maaf deh, aku nggak mau ikut-ikutan berkomentar soal pembukaan acara Piala Dunia di Jerman. No comment. Diskusi itu nggak perlu ada di sini. Asal bisa berkali-kali melihat Cristiano Ronaldo dos Santos Aveiro dalam iklan minum berenergi itu saja sudah benar-benar rahmat, hahaha. "Udah berapa kali lo bilang aduh nih," temanku menggoda. Aku nggak peduli. Aku tetap terpaku dan menahan napas melihat iklan dengan model salah satu pemain kunci tim nasional Portugal itu.

Saking senangnya sampai aku berasa tidur di rumah saja. Aku baru siuman setelah dibangunkan oleh orang ketiga. Kata temanku, aku cuma bilang "Ah" saat dibangunkan temanku yang pertama dan kedua. Padahal, aku nggak merasa bicara apapun.

Kemarin ada teman yang sms menanyakan soal acara pembukaan Piala Dunia. Dia pikir aku menonton langsung acara itu. Ya, nggaklah. Aku nggak membalas smsnya, nggak ada pulsa, hiks. Padahal aku sudah menulis, "Sama men, g juga kecewa." Tapi, nggak masalah, sepanjang ada Ron...

Friday, June 09, 2006
Selebar Daun Kelor

Horeee ke bandar udara lagi. Aku suka berada dalam hiruk-pikuk bandara. Ada yang datang, ada yang pergi. Ada yang mendarat ada yang mengangkasa. Ada yang mengantar, ada yang menjemput. Ada yang bertemu, ada yang berpisah.

Bandara selalu ramai. Ada orang yang datang lebih awal. Ada yang terburu-buru. Ada yang terlambat. Ada yang sedih. Ada yang senang. Ada yang tanpa ekspresi. Ada yang stres karena belum mendapat tiket atau sedang bermasalah dengan perjalanan. Ada yang berat berpisah. Ada yang datang sendirian, ada pula yang membawa rombongan sekelurahan. Ssstt, di sana, ada yang berkeliaran mencari mangsa.

Aku suka suasana bandara di pagi buta. Dingin. Lampu-lampu menyala. Tidak terlalu ramai. Duduk di bangku tunggu, tempat makan, atau ruang tunggu sebelum berangkat. Selalu ada pembicaraan. Entah aku ikut omong atau cuma mencuri dengar.

Bandara di waktu malam juga tidak kalah menarik. Ada banyak lampu. Udara sejuk (kalau hujan ya dinginnnnn). Orang mondar-mandir. Tapi tidak terlalu ramai. Satu per satu pegawai bandara mulai pulang.

Melihat suasana di bandara sama dengan melihat diriku dalam wajah dan ekspresi orang lain. Kadang aku terburu-buru (ini mah klasik), bermasalah, sedih, gembira, ditemani banyak orang, sendirian. Kadang-kadang aku merasa terlalu tinggi sehingga melihat sesuatu seperti titik-titik saja, namun akhirnya akan menginjak bumi juga. Selalu ada yang baru, ada kejutan di sana-sini, dan tidak pernah sama. Semuanya berlalu dengan waktu.

Jika ada waktu dan bodi memungkinkan aku dengan senang hati mengantar atau menjemput seseorang agar bisa merasakan suasana bandara. Siapa tahu bisa bertemu teman lama atau malah mendapat teman baru.

Aku belum bilang ya, aku kemarin ke bandara untuk bertemu Hein, temanku dari Belanda. Kami berkenalan lewat friendster dan berlanjut ke YM. Dia sedang liburan ke Indonesia dan baru pulang dari Semarang dan akan berangkat lagi ke Denpasar.

Bandara kemarin panas sekali. Aku tiba jam 13.00 WIB lebih dikit. Akhirnya kami bertemu juga. Sebenarnya dia sudah dua hari di Jakarta baru ke Semarang. Selama di Jakarta kita nggak bertemu, cuma sms, please deh. Aneh banget kan. Makanya, aku bela-belain ketemu dia. Kami berbicara di antara jam-jam sebelum dia terbang ke Pulau Dewata.

Seperti yang aku bilang tadi, bandara mengajarkanku tentang waktu. Segala sesuatu ada waktunya. Kemarin aku bukan cuma bertemu Hein sebagai teman, tapi juga sebagai saudara. Kami akrab karena dia ini anak teman ayahku. Dahulu ayahnya dan ayahku sama-sama polisi. Kemudian papanya bedol rumah ke Belanda. Jadi, pada waktunya, ternyata bandara juga menunjukkan padaku bahwa dunia begitu kecil, selebar daun kelor :)

Thursday, June 08, 2006
Grazie, Grazie

Aku duduk membaca di lobi sebuah kantor di kawasan Cut Mutiah, Jakarta Pusat, kemarin. Sekitar setengah jam aku duduk di kursi yang paling dekat pintu kaca. Seperti resepsionis saja, aku tersenyum pada semua orang yang datang dan pergi. Termasuk dengan dua perempuan yang keluar membeli makanan dan balik lagi dengan tas plastik hitam di tangan masing-masing.

Aku lagi menunggu temanku Merry. Kami janjian untuk ketemu seseorang di kantor itu. Akhirnya dia datang. Pakai rok hitam, baju motif hitam putih, dan sepatu tinggi lima sentimeter. Cantik. Kita seperti bumi dan langit. Merry yang bilang begitu he he.

Akhirnya kami ke lantai dua. Nggak lama menunggu orang yang dicari menampakkan muka. Ternyata, kami sudah bertukar senyum tadi. Mba ini yang bawa kantong plastik tadi. Intinya kami akan bekerja sama. Dan ini yang penting: kita berteman.

Senang banget ketemu teman baru. Baru beberapa saat bicara, aku sudah merasa klik klek. Mba ini punya beragam aktivitas untuk anak-anak Sekolah Minggu. Nyam nyam nyam. Bahkan kami sudah merencanakan beberapa hal, tentu saja setelah Tuhan bilang oke deh.

Waktu ngobrol aku bilang jadi pengen mengobok-obok buku saku bahasa Italiaku lagi. Apalagi Mba ini mau mengajariku bahasa negeri pizza ini. "Grazie. Grazie," aku berkata. Dia menjawabku. Tapi aku tidak ingat lagi kata-katanya, hiks.

Buongiorno, gatto, ovatta, evivane, bravo, cucina, cantare, Papa, prendersi cura, ti amo, ciao.

Tuesday, June 06, 2006
Jreng-jreng

Aku perhatikan beberapa bulan terakhir ini aku lebih banyak bernyanyi. Aku jadi benar-benar membutuhkan gitar. Hmm aku nggak jago jreng-jreng sih. Tapi, aku bisa memainkan beberapa lagu dengan perpindahan kunci G, A, dan D saja, he he he.

Aku belajar gitar juga dari Hani, istri Abangku. Aku belajar cara memetik senar. Caranya sederhana banget, dimulai dengan dengan menggerakkan jari telunjuk, tengah, dan manis berurutan. Setelah luwes barulah aku mulai memetik dawai gitar. Dan, sampai sekarang aku nggak bisa jreng-jreng. Aneh kan, heheheh. Kalau kita PAA aku cuma bisa memetik gitar. Sahabat-sahabat kecilku suka menertawakanku. Dedy yang kelas dua SMP itu bahkan sering gemas melihat aku tidak bisa jreng-jreng juga.

Sebenarnya Ronny adikku sudah mengajariku. Pertama belajar bisa dong. Tapi, aku lebih senang memainkan gitar dengan memetik senar. Kedengarannya lebih jernih, tenang, nggak ramai, dan sangat personal. Tapi, lagu-lagu berirama cepat dan riang jadi sendu semua. Hello aku kan main untuk diriku sendiri, syukur-syukur kalau ada yang menikmati.

Dahulu di rumah kami ada gitar. Gitar itu milik Ronny, adikku. Karena dia lagi senang-senangnya berorganisasi dan menginap di markasnya, gitar itu juga ikut pindah rumah. Jadi, kalau ingin main gitar, ya, harus ke Bogor.

Di Bogor ada dua gitar. Yang gede punya Abangku. Senarnya agak kasar dan tajam. Dahulu sih, jariku agak kapalan, tapi sekarang sudah kembali normal. Jadi kalau main gitar nggak bisa lama, sakit. Nah, gitar Moses paling asyik. Ukurannya kecil dan senarnya juga mungil, lembut, dan nggak bikin jari perih.

Moses sih nggak tertarik main gitar. Dia memang sering ngejreng sendiri tapi lebih banyak menghabiskan waktu untuk membaca dan menonton film Ultraman dan teman-temannya. Jadi, aku dan Jenny bermaksud meminjam gitar dengan kain pembungkus kotak-kotak putih biru muda itu. Tapi, belum kesampaian. Soalnya, kasihan juga kalo Moses dan Nera--yang lebih sering mengobok-obok gitar itu--mau jreng-jreng harus pakai gitar gede Abangku.

Aku dan Jenny sepakat akan membeli gitar. Gitar gede dengan senar yang tidak membuat jari kami depresi. Kami berdua sudah bertekad untuk belajar gitar lebih sungguh. Bisa bermain untuk orang lain juga. Targetku sederhana saja, agar PAA tidak cuma penuh pujian saat ada Abang dan Ronny yang bermain gitar. Jenny dan aku juga bisa mengiringi sahabat-sahabat kecilku bernyanyi.

Jenny lebih jago dan menguasai beberapa kunci. Dia sudah berkali-kali mengajariku beberapa kunci. Tapi, aku suka nggak peduli, dan sering menyanyikan berbagai lagu dengan tiga kunci andalan itu. Sejauh ini berhasil, meski mereka sering menertawakanku. Nggak masalah, aku menyanyi buat diriku kan. Gengsi lagi kalau berhenti bermain gitar apalagi menyanyi karena tertawaan orang. Sorry nggak gue banget, he he he.

Dan, ini juga penting, kami juga bisa bermain gitar di rumah di Kupang. Jadi koleksi buku-buku lagu Mamaku nggak cuma berfungsi maksimal kalau ada Abangku dan Ronny di rumah. Kami juga nggak histeris mengetahui ada teman yang bisa main gitar apalagi piano. Selama ini kami begitu, he he.

Di rumah di Kupang, kami punya pengiring sejati, Arit. Dia itu sudah seperti adik kami yang paling bungsu. Tapi, dia lebih banyak memainkan lagu-lagu rohani. Aku sudah membayangkan untuk menunjukkan kemampuanku pada adikku Wisye dan kakakku Lita. Mereka juga bisa bermain gitar dengan tiga kunci saja. Mereka pasti iri.

Hmmm mulai deh muluk-muluk. Kapan beli gitarnya Non?

Monday, June 05, 2006
Senin

Aku selalu menyebut Senin hari baru. Sebab hari pertama dalam kalender ini kerap membawa suasana berbeda. Entah berita-berita baru, informasi baru, atau kesibukan baru.

Kalau lagi kerja malam seperti sekarang, Senin pekan pertama selalu menyenangkan. Aku punya waktu libur lebih panjang dari Sabtu sampai Senin malam. Sabtu kemarin aku menemani adikku Jeny masak. Adikku ini memang benar-benar good girl :)

Setelah makan kenyang aku pergi ke Depok ke rumah sahabatku Merry. Ada urusan. Kami memang sering ketemu tapi aku sudah lama sekali tidak ke rumah orang tuanya. Dahulu waktu kuliah aku sering menginap di sana. Orang tuanya sudah seperti ayah dan ibuku. Mereka baik banget.

Rumah mereka kosong ketika aku ke sana. Merry harus naik ojek dari rumahnya ke tempat orang tuanya. Dahulu aku sering jadi tukang facial buat Merry dan Lisa di rumah ini. Sekarang kita cerita banyak banget. Nggak sempat nonton televisi. Kayaknya cerita nggak ada habis-habisnya. Anak Merry sampai bilang Tante Tina cerewet ha ha ha ha ha. "Gangguin Kevin mulu," kata dia. Iya deh, maaf ya Kevin sayang.

Nggak terasa sudah jam sepuluh malam, aku harus pulang meski Merry dan orang tuanya sudah menahanku agar menginap. Tenang saja, pasti aku akan menginap lagi. Aku sampai di rumah jam 23.00 WIB lebih.

Minggunya aku kembali menemani adikku memasak. Dia menggoreng pisang kipas tapi gagal. Aku yang menghabiskan semua pisang gorengnya itu. Setelah kenyang dan cukup
tidur, aku menengok Omku yang sakit di RS Polri. Aku baru menengok setelah Omku lima hari di rumah sakit. Omku sudah lumayan cuma butuh istirahat panjang.

Hari ini, aku bercerita cukup lama dengan tetanggaku. Kami bercerita di ruangan atas. Dia berdiri di depan pintu kamarnya dan membelakangi jemuran. Tetanggaku ini mahasiswi teologi. Dia mau pindah kos. Lucu aja, kita bisa bercerita cukup panjang setelah dia mau pindah.

Aku baca novel Sydney Sheldon setelah beres-beres rumah dan mencuci pakaian. Novelnya belum selesai tinggal beberapa puluhan halaman lagi. Bibir Jenny yang baru pulang kantor langsung merengut lihat aku asyik membaca. Aku sudah lama nggak membaca. Dahulu orang-orang rumah paling benci kalau aku sudah memegang buku. Karena aku nggak akan peduli dengan apa yang terjadi. Aku lihat Moses kecilku juga suka begitu. Nggak peduli dengan apapun selama ada buku di tangan atau sedang duduk di depan komputer.

Aku benar-benar berhenti membaca karena ditantang pembimbingku untuk membaca seluruh Alkitab baru melirik buku-buku lain. Aku belum selesai baca Alkitab dong, tapi aku mulai baca lagi, he he. Tapi, sudah tidak serakus dahulu, sekarang aku bisa berhenti meski belum selesai baca. Aku juga tidak jor-joran lagi beli buku, masih ingat orang lain :)

Di Senin pertama kerja pagi, tulisan banyak banget. Pegal-pegal pasti. Makan tertunda. Tapi, begitulah, Senin pertama kerja pagi terbayar pas Senin pertama malam. Aku senang Senin yang bertenaga. Sebab, aku punya waktu untuk memupuk kekuatan di hari sebelumnya, Minggu.

Friday, June 02, 2006
Kemarin

Kemarin hari yang benar-benar melelahkan. Tanganku nggak berhenti bersentuhan dengan keyboard. Aku menulis berjam-jam tanpa berhenti. Bahu pegal. Kepala berasap. Nggak sempat main juga, huuuuuuuuuuuuuuuuuu.

Aku baru bisa berleha-leha sekitar jam delapan malam. Lagi asyik browsing, koneksi ke situs luar ngadat, huuuuuuuu. Padahal situs berita dalam negeri sudah kubaca, bahkan berita hiburan sudah habis kupelototi.

Dalam kondisi tidak menyenangkan begitu, temanku memutar lagu-lagu Leto. Menenangkan. Meski aku pernah sekali melihat penampilan live mereka di televisi dan aku kecewa. Sepertinya Noey lebih peduli pada topi kupluknya hingga tidak memakai alat kontrol suara, jadi begitu deh, suaranya ke mana, musiknya ke mana, jadi ke mana-mana deh... Padahal, grup ini satu panggung dengan Kahitna dan Tompi bertopi yang keren abis itu lo. Leto jadi letoy, waktu itu tapi.

Semakin malam suasana di ruangan makin ramai. Orangnya makin sedikit, tapi mulai keluar tanduknya. Sementara penampilan Kerispatih di teve bikin semangat. Menyanyi di kaset dan langsung nggak ada bedanya, gila sungguh. Begitu Samuel selesai menyanyi aku bertepuk tangan dong. Spontan. Silakan bilang aku histeris. Memang bagus kok.

Selagi dengar lagu-lagu Steven&Coconut Treez, eh grup raggae ini ada di televisi. Malam makin seru saja. Lupa deh sama internet.

Aku keluar kantor sekitar jam setengan sebelas malam. Seperti biasa naik bus dan duduk di depan. Lagi berencana tidur, suara pengamen menyapa. Aku sempat menengok. Penyanyi gondrong itu berkaus putih. Mulai deh, jreng jreng.

Lagu pertama Tenang (Still). Dia menyanyi dengan gaya yang beda dari yang aku dengar selama ini. Nadanya lebih rendah. Aku melintas jembatan layang Kuningan sambil ikut menyanyikan refrainnya dalam hati. Di saat badai bergelora, ku akan terbang bersama-Mu, Bapa Kau Raja alam semesta, kutenang sbab Kau Allahku...

Disambung Janji-Mu seperti Fajar. Menarik nih. Kaki kiriku bergoyang. Dia tidak berhenti jreng-jreng dan menyusul lagu Bapa yang Kekal karya Julita Manik. Aku ikut menyanyi dong, dalam hati...

Kasih yang sempurna telah ku trima dariMu
Bukan karna kebaikanku
Hanya oleh kasih karuniaMu Kau pulihkan aku
Layakkan ku 'tuk dapat memanggilMu "Bapa"

Kau b'ri yang kupinta
Saat ku mencari, ku mendapatkan
Kuketuk pintuMu dan Kau bukakan
S'bab Kau Bapaku, Bapa yang kekal
Takkan Kau biarkan
Aku melangkah hanya sendirian
Kau selalu ada bagiku
S'bab Kau Bapaku, Bapa yang kekal


Waktu ke Bogor kemarin, aku belajar lagu ini dari Moses dan Nera. Moses nggak sabar menemaniku karena aku masih mencari-cari kunci saat main gitar. Dia mau nonton film Ultraman.

Aku menyanyi sambil bermain gitar dengan Nera. Moses beberapa kali datang untuk memperbaiki lirik yang aku nyanyikan. Aku terus pura-pura salah menyanyi. "Duhh, Ne, Moses catat saja ya, liriknya, tapi setelah Moses nonton Ultra Man," kata dia. Melihat mukanya, aku akhirnya berterus terang bahwa aku tahu lagu itu, cuma ingin mengerjai dia saja. Dia nggak marah, malah dengan tenang menonton fim kesayangannya itu.

Aku masih tetap menyanyi Bapa yang Kekal sampai di rumah. Lagunya aku ulang-ulang tapi tidak bosan juga. Aku juga menyanyi lagu-lagu lain. Pelan-pelan. Orang-orang sudah nyenyak. Aku nggak mau tidur, mau menyanyi terus. Akhirnya aku tidur juga. Aku nggak mau melihat jam.

home

my book
It's my first book!
messages
Name :
Web URL :
Message :


archives
February 2004
March 2004
April 2004
May 2004
June 2004
July 2004
August 2004
September 2004
October 2004
November 2004
December 2004
January 2005
February 2005
March 2005
April 2005
May 2005
June 2005
July 2005
August 2005
September 2005
October 2005
November 2005
December 2005
January 2006
February 2006
March 2006
April 2006
May 2006
June 2006
July 2006
August 2006
September 2006
October 2006
November 2006
December 2006
January 2007
February 2007
March 2007
April 2007
May 2007
June 2007
July 2007
December 2007
January 2008
February 2008
May 2008
July 2008
August 2008
November 2008
January 2009
February 2009
March 2009
August 2009
October 2009
April 2011
June 2011
July 2011
November 2011
December 2011
April 2012
June 2012
November 2013
December 2014

links
Detik
Desa-Pelangi
Tempo
Kompas
Liputan6
Journey
Christian Women

resources
Tagboard
Blogger
Google
SXC
HTML
Haloscan
Gettyimages

hit counter
Free Web Counter

BlogFam Community