<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6496619\x26blogName\x3d-::+L+O+V+E+will+S+E+T+you+F+R+E+E::\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://tinneke.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://tinneke.blogspot.com/\x26vt\x3d-6149671454343776068', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
Monday, May 30, 2005
Belum Ada Judul

Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu itu tiba. Si pemuda atau pemudi melamar pasangannya untuk menjadi istri atau suami. Deg-degan menanti jawaban. Entah anggukan atau gelengan atau anggukan dan gelengan sekaligus, ragu-ragu.

Saat ini sepasang kekasih sedang berjalan ke tahap ini. Disebut kekasih karena mereka sudah memberi (atau membuang) banyak waktu, hati, dan pikiran secara bersama-sama untuk sampai ke alamat yang bernama perkawinan.

Sudah dua kali si pemuda mengatakan, "Will you marry me?" Dan, sudah dua kali si pemudi cuma tersenyum tanpa jawaban pasti. Si pemuda maklum. Mungkin kekasihnya malu-malu. Tapi, si pemuda tahu pasti bahwa diam yang diberikan kekasihnya bukan berarti ya.

Lamaran si pemuda ke si pemudi kedengaran standar. "Will you marry me?" kan biasa banget. Apalagi ketika si pemudi menyandingkan dengan pengalaman teman-teman dekatnya yang dilamar dengan cara yang tak biasa.

"Kalau kamu mau, kita bisa pulang kampung beternak itik."

"Aku cuma punya rumah kecil dan kita bisa berkebun di belakangnya."

"Kalau kamu mau, kita bisa bikin LSM sama-sama."

Si pemuda melamar si pemudi dalam makam malam diterangi lilin di rumah si pemuda yang tukang insinyur itu. Rumah kekasihnya berjendela dan pintu kaca. Rumah "kotak" bercat merah itu mencolok di salah satu perumahan di Canberra, Australia.

Sedangkan salah satu teman si pemudi diajak berhubungan lebih serius di tempat perkabungan. Mungkin si cowok tak mau bernasib sama dengan jenazah yang mereka layat, yang tutup usia sebelum menikah dan mungkin melamar pacarnya.

Ada lagi teman si pemudi yang dilamar lewat surat elektronik dan diam-diam saja ketika berhadapan muka. Yang melamar mungkin tidak pernah yakin bahwa yang dilamar bisa menanggapi tawaran kasihnya dengan serius. Apalagi, mendengar jawabannya. "Wah... berkebun? Ayolah, tanganku pasti lecet-lecet. Aku mau kok menemani kamu berkebun, tapi, nggak setiap hari kan. Bagaimana?"

Sedangkan teman si pemudi yang satunya dilamar di depan penjara ketika akan menjenguk salah satu tahanan politik. Kekasih teman si pemudi ini terlalu sibuk hingga tidak punya waktu untuk memikirkan hubungan mereka. Tapi, kok, bilangnya di tempat seperti itu. "Kamu bisa kerja di sana. Kamu mau kan pindah warga negara?" si pelamar memegang erat tangan yang dilamar. Teman si pemudi ini terhenyak dan berkeringat.

Si pemudi dekat dengan teman-temannya karena satu pikiran untuk menikah pada waktu yang tepat. Tidak terburu-buru. Si pemudi dan teman-temannya bertekad satu kali saja mengatakan "Yes, I do!" Ketika sampai pada tahap menjatuhkan pilihan mereka sudah dan harus siap dengan segala konsekuensinya. Jadilah si pemudi dan teman-temannya bergabung dalam geng You Can't Hurry Love. Si pemudi dan teman-temannya sering menyanyikan refrain lagu Phil Collins:

...My mama said
You can't hurry love
No, you'll just have to wait
She said love don't come easy
But it's a game of give and take
You can't hurry love
No, you'll just have to wait
Just trust in a good time
No matter how long it takes...


Dengan prinsip ini si pemudi dan teman-teman terlihat aman-aman saja hidup sendirian, berkasih-kasihan melewati negara, pacaran tapi jarang ketemu, dan menjalin hubungan tanpa komitmen. Si pemudi dan teman-temannya juga tidak merasa terlalu muda atau tua untuk mengatakan "Tidak" "Jangan sekarang" "Yakin lo, gue masih ragu" dan perkataan-perkataan senada ketika pembicaraan sudah menyerempet ke arah janji di depan altar.

Meski gara-gara ini, si pemudi dan teman-temannya harus mendengar kata-kata yang ihhhhh basi banget ketika menghadiri pernikahan seseorang yang pernah dekat dengan mereka.

"Kamu sih, seharusnya kita yang duduk di sini (pelaminan) sekarang?"

"Ayo dekat-dekat sama istriku supaya kamu menyusul."

"Saudaraku banyak yang lagi cari istri, nanti aku kenalkan deh."

Tapi, si pemudi agak sedikit berbeda dengan teman-temannya. Dia memang berniat betul untuk membangun keluarga. Dia ingin mengisi hari depannya bersama suami dan anak-anak. Dia ingin serius dengan niatnya ini. Dia tidak mau main-main atau mengulur-ulur waktu dengan berbagai dalih di hadapan si pemuda.

Si pemudi mungkin sedang ditempatkan di antara teman-temannya yang begitu saja menggeser kata for yang harus mengekor ketat kata waiting dan looking agar bisa mengikuti jejaknya. Sebab, dengan begitu hubungan kasih teman-temannya bisa maju, meski dengan gerakan kecil saja. Si pemudi juga tahu alasan teman-temannya tidak buru-buru merelakan jari manis mereka dilingkari cincin. "Calonku harus bisa memimpin doa." "Dia harus membiarkan dirinya ditolong." "Aku belum siap tunduk pada dia." "Kira-kira gue bosan nggak ya, nanti?" "Aku mau menikah kalau sudah siap?"

Pertanyaan yang sama juga menudungi si pemudi. Karena itu si pemudi masih tertatih-tatih untuk sampai pada alamat yang bernama perkawinan itu. Dia masih menimbang-nimbang keputusannya bahkan saat dalam penerbangan dari Denpasar ke Sydney dan terus ke Canberra, Sabtu kemarin.

Jika menjawab "Yes" dia akan tinggal di Negeri Kanguru dan mungkin akan melahirkan putri cantik bermata biru seperti kekasihnya. Mungkin dia sekolah lagi mengambil jurusan desain interior dan bisa mengobati penyakitnya dengan perawatan yang lebih memadai.

Si pemudi dan si pemuda ini bisa sama-sama belajar mengontrol emosi agar menyelesaikan masalah tanpa harus teriak-teriak dan berganti rona muka seperti kepiting rebus. Mereka bisa belajar untuk tidak terlalu pelit dan terlalu royal. Mereka bisa belajar menertawakan dan mensyukuri perbedaan budaya. Dan, teman-temannya punya satu lagi daftar tempat berkunjung jika nyasar di negara benua itu.

Si pemudi tak berhenti meminta dukungan doa dari teman-temannya. Masih banyak waktu untuk memutuskan. Visa kunjungannya habis 31 Juli nanti. Teman-temannya berdoa agar si pemudi balik ke Indonesia lagi untuk mengurus visa tunangan.

Teman-temannya sedang melantunkan refrain You Can't Harry Love ketika pesan singkat dari si pemudi nongol. "Aku sudah di Canberra. Di sini dingin sekali sampai 4 derajat Celcius. Kemarin Andrew sudah melamar aku. Kita rencana nikah di dua tempat, tapi masih tanya ke imigrasi."

Mama Mia e..., akhirnya, sebentar lagi si pemudi menjadi Mrs Wallace.


Wednesday, May 25, 2005
Papa Sih, Gaji Ece`-Ece`

Pendaftaran sekolah mulai dibuka. Berbagai sekolah swasta memasang spanduk penerimaan siswa baru di depan pintu gerbang. Orang tua mulai puyeng karena berbagai alasan. Di tengah janji sekolah gratis untuk rakyat miskin, ada orang tua yang bingung mengumpulkan uang, mencari sekolah favorit, dan ketar-ketir memikirkan biaya sekolah. Sementara, pilihan orang tua tak selamanya sesuai dengan kehendak anak, khususnya yang sudah akan meninggalkan seragam putih biru.

Ini juga terjadi pada, sebut saja Tanti. Siswa kelas tiga SMPK Tarakanita di kawasan Jakarta Timur ini sudah mengambil formulir di salah SMUK St Theresia, di bilangan Jakarta Pusat. Si ibu memberikan uang Rp 150 ribu untuk biaya pendaftaran. Dengan bersemangat, Tanti melengkapi semua persyaratan termasuk menyertakan slip gaji ayahnya. (Ih, pakai slip gaji segala)

Setelah dites, ternyata Tanti yang selalu masuk lima besar di kelasnya ini lulus, tapi dalam kategori cadangan pertama. Dari informasi temannya yang sekolah di sana, dia tahu bahwa namanya masuk daftar cadangan karena gaji ayahnya cuma Rp 7 juta sebulan. Dari temannya itu, Tanti juga baru engah bahwa ada seorang teman SMP-nya yang lolos tes. Peringkat anak ini “jauh panggang dari api” dengan Tanti. "Tapi orang tuanya memang tajir banget," kata Tanti menirukan omongan temannya itu.

Begitu tahu masalah ini, Tanti diomeli mamanya. Mamanya memang tidak melarang Tanti mendaftar di sekolah favorit menurut pandangan anaknya itu. Namun, pikirannya berubah mengetahui uang masuk sekolah yang mencapai Rp 10 juta.

Sementara, seorang siswi kelas lima Sekolah Dasar Negeri di kawasan Cawang Kapling, Jaktim, tak mau ambil pusing dengan uang sekolah. Gadis bertubuh kerempeng ini bukan tak peduli. Tapi, dia tahu ayah dan ibunya tak punya uang. Putri bahkan pernah tidak tahu hasil evaluasi belajarnya selama kelas empat. Sebab, ibunya tidak punya uang Rp 10 ribu untuk menebus rapor. Si ibu cuma diberitahukan guru bahwa anaknya naik kelas.

Putri masih beruntung karena pihak sekolah tetap memberikan buku pelajaran meski sang anak belum melunasi uang buku. Pembayaran buku pelajaran bisa dicicil. Sementara teman-teman bermainnya dari SDN lain yang masih satu wilayah tidak bisa memiliki buku pelajaran jika belum lunas. Gawatnya, siswa yang memiliki buku dilarang berbagi buku pada saat pelajaran. Lebih hebat lagi, siswa dilarang keras memfotokopi buku pelajaran yang satu paket mencapai harga Rp 60 ribu ini.

Kondisi Putri berbeda dengan Tanti yang nyaris tak bermasalah dengan uang sekolah. Sampai kelas tiga SMP, Tanti rutin membayar uang sekolah Rp 350 ribu per bulan. Ini di luar biaya buku pelajaran dan berbagai les.

Jika benar masuk SMU idamannya itu, ibu Tanti harus mengeluarkan biaya berlipat. Selain uang sekolah dan buku pelajaran, kemungkinan besar orang tua Tanti harus merogoh kocek untuk biaya tambahan buat gaul anaknya. Tanti juga diingatkan bahwa dia akan merasa terkucil jika memaksa masuk ke sekolah anak gedongan itu. "Nanti kamu sendiri yang naik bus," kata ibunya.

Tanti diam saja menanggapi reaksi ibunya. Dia juga tak bicara ketika disarankan untuk mendaftar di SMU negeri agar bisa masuk perguruan tinggi negeri lewat jalur Penerimaan Minat dan Kemampuan (PMDK). Apalagi, kakak ceweknya lolos seleksi ini dan sekarang kuliah di sebuah universitas negeri di Jawa Timur.

Dia juga menceritakan semua ini pada ayahnya lewat telepon. Ayahnya adalah kepala bagian di kantor cabang PT Telkom di Kalimantan. Tak ada kisah yang ditutupi, termasuk soal alasan dia masuk kotak cadangan nomor satu tadi. "Papa sih, gajinya ece`-ece` (kecil), papa anak-anak yang diterima, gajinya 35 jutaan," kata Tanti. "Sudah, daftar di SMU negeri saja," ujar ayahnya dengan nada tinggi.

Bukan cuma orang tua Tanti yang kesal mendengar celotehan ini. Kerabat dekat juga sebal pada gadis manis ini saat ibu Tanti menceritakan kembali peristiwa itu. "Aku kan cuma pengen coba masuk Theresia aja," kata bungsu dari dua bersaudara ini, ringan. Ck ck ck!


Tuesday, May 24, 2005
What God Expects of Us
Teresa of Avila

It is amusing to see souls who, while they are at prayer, fancy they are willing to be despised and publicly insulted for the love of God, yet afterwards do all they can to hide their small defects. If anyone unjustly accuses them of a fault, God deliver us from their outcries!

Prayer does not consist of such fancies. No, our Lord expects works from us. Beg our Lord to grant you perfect love for your neighbor. If someone else is well spoken of, be more pleased than if it were yourself; this is easy enough, for if you were really humble, it would vex you to be praised... Comply in all things with others` wishes, though you lose your own rights. Forget your self-interests for theirs, however much nature may rebel.


Wednesday, May 18, 2005
Pagi Manis

Pagi begitu manis. Sinar matahari hangat. Cahayanya membuat warna hijau daun begitu cerah. Air menetes pelan-pelan dari puncak tanaman turun ke ranting, daun, bunga, batang, dan meluncur ke tanah. Tanah yang tersiram air seperti brownies dengan bau yang beda. Bau tanah kental.

Pagi manis-manis selalu mengingatkan aku pada Mama. Mungkin tidak ada orang yang tahu bahwa aku kecil senang memperhatikan Mama menyambut pagi. Begitu lembut, bersih, basah, hijau, dan sederhana.

Aku tidak tahu persis jam bangun tidur Mama. Tapi, aku selalu terbangun oleh lagu-lagu country dari Kenny Rogers, Dolly Parton, Olivia Newton-John, dan banyak lagi. Juga lagu-lagu lama yang dibawakan Skeeter Davies, Diana Ross, Connie Francis, ABBA, Carpenters dan teman-temannya. Juga lagu-lagu rohani yang dibawakan Lex`s Trio. Volumenya tidak terlalu kencang. Tapi, aku selalu terbangun dan menikmati semua kelembutan ini.

Tanpa melihat pun aku tahu persis posisi Mama saat itu. Mama duduk sendirian di kamar tamu kecil di salah satu rumah di asrama polisi tempat aku menghabiskan masa kecil. Mama selalu duduk di kursi yang paling pojok. Setengah membelakangi lemari kayu yang memuat salon yang mengapit tape. Selalu ada segelas kopi hitam pekat di meja. Kadang-kadang ada sepiring kecil kue atau roti.

Kakinya selalu telanjang, mencium lantai yang baru saja dipel. Meja dan lemari juga sudah bebas dari debu. Bersih. Pintu dibuka lebar-lebar, jendela juga.

Mata mama selalu memandang teras. Bekas guyuran air masih berkilat di puluhan pot bunga dengan berbagai ukuran. Semen di teras juga masih basah. Halaman juga basah. Bau tanah kental.

Kadang-kadang mama ikut bernyanyi dengan suara mezosoprannya. Mama hafal semua lagu. Suara Mama mirip Diana Ross, melengking, sedikit berdesah, dan agak tipis.

Lagu-lagu dari ruang tamu selalu membuat aku tenang dan tak jarang ikut bersenandung. Aku pernah meminta Mama menuliskan salah satu lagu yang sering diputar. Aku lupa judulnya. Penyanyinya perempuan. Lirik yang masih teringat di kepalaku cuma, I wanna hold you in my dreams na na na... Notnya, 3 33 5 56 5 4 2...

Lagu ini aku hafalkan sampai saat kita makan. Bapaku beberapa kali menegurku karena tanpa sadar aku menyanyikan lagu ini saat makan bersama. Ditegur berhenti, kemudian menyanyi lagi. Aku baru diam setelah dibentak keras dan sendok yang aku pegang terjatuh. Mama, kakak perempuanku, dan adik-adikku berusaha keras menahan tawa. Setelah selesai makan, mereka semua menertawakanku. Aku juga ikut terbahak sambil menunjukkan kertas syair lagu yang aku jepit di bawah piring makan. Tentu saja dengan air mata masih berlinang karena dimarahi he he he.

Aku pernah beberapa kali duduk di samping Mama di pagi yang manis-manis itu. Menyanyikan beberapa lagu bersama--termasuk lagu kasus itu :) Tapi, aku lebih senang menikmati kesenangan Mama dari tempat tidurku. Sebab, Mama sepertinya tidak ingin diganggu.

Dahulu aku merasa Mama tidak senang ditemani di pagi manis-manis itu. Tapi, belakangan aku sadar bahwa kehadiran kami anak-anaknya seakan-akan weker agar Mama terbangun dari keasyikan paginya. Setelah mematikan tape, Mama mulai mendengar "lagu-lagu" kami: tangisan, sungut, teriakan mencari sepatu, kaus kaki, bertengkar rebutan kamar mandi, sisir, bedak... Belum lagi dengan menyiapkan pakaian dinas Bapaku, mengatur belanja, memesan ini itu. Rusuh pokoknya. Padahal, Mama juga harus membenahi urusan pribadinya, termasuk bersiap-siap ke kantor.

Mama membuat aku sering menciptakan suasana pagi yang manis-manis itu. Kelembutan dan kesederhanaan pagi manis-manis milik Mama sering muncul setelah lantai dipel dan ada lagu-lagu lembut. Saat-saat begini, aku dan adik-adikku duduk lesehan berhadapan lutut dengan minuman hangat, kadang-kadang kue kecil. Saat itu topik yang selalu kita bahas meski sebentar tak lain adalah tentang Mama.

Saat ini, suasana pagi manis-manis ini datang menyergap. Dari balik kaca kantor aku seperti merasakan kehangatan matahari di antara taman kecil di gedung tetangga. Aku juga mencium bau tanah kental di depan komputerku. Suasana ini membuat semangatku muncul lagi untuk menyelesaikan kerjaan yang, huuuuuu kok nggak ada habis-habisnya ya :)

Aku ingin sekali bilang terima kasih pada Mama untuk pagi manis-manisnya. Aku juga ingin Mama menikmati lagi pagi manis-manis untuk dirinya sendiri. Sebab, aku sudah lama tidak melihat Mama menikmati pagi manis-manisnya. O o jangan-jangan Mama lupa lagi...

Di pagi yang manis-manis ini, aku ingat Mama. Aku seperti mencium bau tanah dan lagu-lagu lembut dari ruang tamu kita. Tapi, hari ini aku ingin sekali menemani Mama. Duduk berdua menikmati pagi yang lembut, bersih, basah, hijau, dan sederhana. Khususnya di hari ini, di ulang tahun Mama yang ke-60. Happy birthday Ma!


Thursday, May 12, 2005
Piyama

Moses, keponakanku, mau ulang tahun. Tanggal 20 Mei nanti dia genap umur enam tahun. Bingung juga memikirkan kado buat dia.

Belakangan dia sering bicara tentang piyama. Aku dengar ini dari adikku, Jenny. Memang mereka lebih sering berdua, jadi Jenny lebih banyak tahu perkembangan Moses kecilku daripada aku (huuuuuu gondok deh).

Aneh saja Moses bertanya-tanya tentang piyama. Sebab, dari kecil dia selalu memakai piyama. Bahkan, dia juga punya piyama batik yang dibelikan khusus oleh sahabatku, Yana, ketika sedang liburan di Yogyakarta. Mungkin dia lupa.

Ketika Jenny sedang di mal, aku titip beli piyama buat Moses. Aku tidak memesan khusus warna dan bentuknya. Yang pasti Moses suka warna ungu. Terserah Jenny deh, yang penting Moses punya piyama lagi.

Ketika pulang kantor, seperti biasa, aku menanyakan Moses begitu membuka pintu rumah. Jenny memang sedang menunggu aku :) Dan, Moses kecilku sudah tidur.

"Wah, heboh!" kata Jenny.

"Begitu dapat piyama dia nggak berhenti omong. Cerewet banget. Lompat sana, lompat sini. Tabrak sana, tabrak sini, kayak cacing kepanasan."

"Dari tadi piyamanya dipegang terus, nggak mau dicuci."

"Begitu selesai makan malam, dia langsung sikat gigi dan bilang mengantuk."

Ini hal yang di luar kebiasaan. Moses kecilku ini punya banyak alasan agar jangan buru-buru tidur. Mulai dari mau gambarlah, masih pusing, belum kenyang, lagi bingung, "kayaknya Moses stres deh," (kecil-kecil stres he he he).

Aku buru-buru ke kamar. Moses lagi tidur. Tubuh mungilnya memeluk bantal menyamping ke arah lantai. Wajahnya menghadap ke kaca duduk yang sengaja diletakkan di depannya. Mungkin dia pulas karena capek sendiri melihat penampilannya dalam piyama :)

Aku keluar mendapati Jenny yang masih menunggu. Dia pasti ingin tahu bagaimana komentarku.

"Duhhhhhhhh, piyama itu kan mustinya untuk kado ultahhhhhhhhh," kataku.

"Yahhhhhhh, nggak bilang sihhhhhh," kata adikku.

Hmmmmm, sebenarnya sih, aku nggak masalah. Masih ada waktu untuk mencari kado lain. Tapi, aku tetap kesal, sedikit sih. Nggak, aku memang kesal. Sebab, bukan aku yang memberi piyama itu dan melihat sendiri Moses kecilku menikmati piyama dengan warna dasar putih sampai loyo dan tertidur. Masak aku cuma sebagai pemeran pembantu. Hanya menemani Moses yang sudah tidur dengan piyama barunya. Hello keadilan, di mana kamuuuuuuuuuu.


Thursday, May 05, 2005
Pengingat Jempolan

Aku sering kurang berminat mengingat nomor atau angka. Sampai sekarang aku lupa nomor telepon rumah orang tuaku. Benar. Setiap menelepon rumah, aku harus melihat daftar nomor telepon dahulu. Saat ini, aku cuma ingat empat nomor telepon rumah dan satu nomor HP--ini nomorku sendiri. Nomor yang aku hafal itu, nomor rumah abangku, sahabatku Lisa, nomor rumahku, dan nomor rumah orang tua sahabatku Merry. Nomor rumah Merry--yang telah menikah--belum terekam, saudari-saudara :)

Aku juga tak terlalu bersemangat mengingat nomor rumah. Akibatnya, aku sering salah masuk rumah. Ini kerap terjadi ketika aku mengunjungi rumah sahabatku, Yana. Padahal, kita bertetangga sekitar lima tahun. Rumahnya seragam, jadi aku sering bingung melewati jalan kecil di antara taman di belakang rumah. Agar tidak nyasar melulu, aku memilih mengikuti rute jalan besar. Jika tidak, telepon saja, biar dia menunggu di dekat rumahnya.

Sampai sekarang ada banyak hal yang aku lupakan. Aku baru menyadari ini ketika bertemu dengan salah satu teman SD-ku. Ada beberapa teman SD yang tidak aku ingat sama sekali. Padahal, kita berteman selama enam tahun. Begitu juga dengan banyak kejadian selama aku masih mengenakan seragam putih merah. "Wah, kamu mulai lupa akar nih," kata temanku itu.

Rupanya aku benar-benar mempraktikkan omongan suster kepala sekolahku waktu SMP. Suster--aku lupa namanya:)--mengajarkan bahwa otak manusia itu seperti komputer dengan kapasitas memori tertentu. Kita bisa memprogram sendiri memori yang perlu kita simpan. Kita juga bisa mengeluarkan memori yang kita anggap harus dibuang. Sejak itulah aku cuma menyimpan memori yang aku rasa benar-benar perlu dan menghapus memori yang tak berguna untuk kemaslahatan bangsa eh, diri sendiri.

Aku menyimpan begitu banyak memori dengan detail. Tapi, ada juga yang aku rekam sekadarnya. Ada juga kejadian yang hilang muncul. Sebagai pemegang kendali memori di kepalaku, aku juga bisa dengan mudah memanggil memori yang jarang terusik. Bisa juga mengisi ulang apa saja yang aku inginkan. Enak banget ya :) Terima kasih suster ...

Kadang-kadang ingatanku eror. Bisa jadi karena capek, terlalu senang, atau sakit. Agar semua kejadian yang aku anggap penting tidak sampai luput, aku menuliskan di catatan harian, tapi, terus terang, aku tidak rajin menulis di sini, hiks. Aku lebih sering menyimpan langsung di komputer alamiku. Ditambah lagi, kadang-kadang lagu, buku, cuaca, gerak-gerik, atau apa saja yang terjadi di sekitarku bisa memanggil memoriku sekaligus mengingatkan aku untuk segera mengusir jauh-jauh ingatan yang harus dibuang.

Aneh bin ajaib, aku baru sadar bahwa ada begitu banyak hal yang aku lupakan. Misalnya, aku ingat penyebab kerenggangan hubungan aku dan mamaku. Kasihan mamaku sampai mengeluh ke saudara-saudaraku karena tidak bisa dekat denganku bertahun-tahun. Tapi, saat ini, aku lebih ingat tahun-tahun setelah hubungan aku dan mamaku makin baik. Setelah mengibarkan bendera perdamaian, hubungan aku dan mamaku makin lengket. Saat-saat mesra inilah yang lebih mendominasi memoriku tentang mama.

Di sisi lain aku juga tetap menyimpan berbagai pengalaman buruk yang terjadi dalam kehidupanku. Pengalaman tidak menyenangkan ini pernah membuat aku menangis dan tidak bisa tidur. Terkadang membuat aku seperti dikejar-kejar. Ada juga yang membuat tanganku refleks membuat gerakan menepis dan mataku berkejap mengusir ingatan buruk itu.

Aku sengaja tidak menghapus semua memori yang gelap itu. Hmmm, mungkin lebih tepat dibilang memori-memori itu bandel banget, sering datang tak diundang, pergi tanpa pamit :) Eh bukan ding. Sebenarnya memori itu muncul dengan perasaan negatif yang perlahan-lahan berkurang dari hari ke hari.

Ternyata tak mudah memang menghapus berbukit-bukit ingatan buruk itu. Tapi, aku belajar untuk berdamai dengan semua masalah yang bikin perih. Berdamai dengan Sejarah--pinjam istilah Xanana Gusmao, dalam pidato politik kemerdekaan Timor Leste. Ini membuat aku tak terlalu bereaksi negatif lagi pada semua hal buruk, namun menerima itu sebagai sejarah.

Dengan berusaha mengontrol memori, aku bisa melupakan banyak hal yang membuat aku seperti tak mau beranjak dari gua yang gelap. Berdamai dengan pengalaman mengerikan bikin aku belajar tidak bersembunyi dari siapa saja dan masalah apa pun yang pernah menjadi catatan gelap dalam hidupku. Sekaligus aku belajar dan berusaha keras agar jangan sampai menoreh hal yang sama dalam sejarah orang lain, hiks. Tapi, hal menyenangkan dari pelajaran yang diberikan suster kepala sekolahku itu adalah aku belajar menjadi pengingat yang jempolan: hanya mengingat hal-hal baik dari diri seseorang dan berkasih-kasihan dengan kejadian apa pun yang terjadi di sekitarku :)


Tuesday, May 03, 2005
Blessed Are the Poor
Jean Vanier

We who are rich are often demanding and difficult. We shut ourselves up in our apartments and may even use a watchdog to defend our property. Poor people, of course, have nothing to defend and often share the little they have.

When people have all the material things they need, they seem not to need each other. They are self-sufficient. There is no interdependence. There is no love. In a poor community, however, there is often a lot of mutual help and sharing of goods, as well as help from outside. Poverty can even become a cement of unity.


home

my book
It's my first book!
messages
Name :
Web URL :
Message :


archives
February 2004
March 2004
April 2004
May 2004
June 2004
July 2004
August 2004
September 2004
October 2004
November 2004
December 2004
January 2005
February 2005
March 2005
April 2005
May 2005
June 2005
July 2005
August 2005
September 2005
October 2005
November 2005
December 2005
January 2006
February 2006
March 2006
April 2006
May 2006
June 2006
July 2006
August 2006
September 2006
October 2006
November 2006
December 2006
January 2007
February 2007
March 2007
April 2007
May 2007
June 2007
July 2007
December 2007
January 2008
February 2008
May 2008
July 2008
August 2008
November 2008
January 2009
February 2009
March 2009
August 2009
October 2009
April 2011
June 2011
July 2011
November 2011
December 2011
April 2012
June 2012
November 2013
December 2014

links
Detik
Desa-Pelangi
Tempo
Kompas
Liputan6
Journey
Christian Women

resources
Tagboard
Blogger
Google
SXC
HTML
Haloscan
Gettyimages

hit counter
Free Web Counter

BlogFam Community