<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6496619\x26blogName\x3d-::+L+O+V+E+will+S+E+T+you+F+R+E+E::\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://tinneke.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://tinneke.blogspot.com/\x26vt\x3d-6149671454343776068', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
Wednesday, March 16, 2005
Agen Rahasia

Merry berbicara pelan-pelan dari ujung telepon. Aku sampai beberapa kali menutup salah satu telinga agar bisa mendengar kata-katanya. Gagal. Merry memang berbicara setengah berbisik, terlalu pelan. Sementara ruangan kantorku begitu bising. Akhirnya dia memutuskan meneleponku lagi nanti. Namun, baru saja duduk, Merry kembali menelepon. Penting nih.

"Tin, gue udah dapat informasi..." Merry pun berbicara panjang. Aku mendengar dengan konsentrasi penuh. Meski suara-suara di ruangan kantor tak juga tenang. "Kamu nggak apa-apa kan. Sorry ya," kata dia, menutup pembicaraan. Kalimat ini diulang beberapa kali sampai gagang telepon diklik ke mulutnya.

Saat itu aku bingung harus sedih atau ketawa. Yang aku tahu, aku harus menulis email buat Lisa. Dia juga harus tahu isi pembicaraan kami. Tanpa sadar aku menulis dengan air mata menetes.

Aku, Merry, dan Lisa memiliki kebiasaan unik. Kami sering menjadi agen rahasia bagi satu sama lain. Aksi kita memang nggak semengkilap "gula-gula" Bond :) Tapi lumayanlah untuk amatir. Informasi tentang apa saja yang memenuhi unsur 5 W + 1 H (What, Who, When, Where, Why + How) pasti akan terbongkar. Tinggal sebut saja. Meski jawabannya tidak pakai tenggat. Namanya juga proyek thank you, ya, tergantung si agen. Kalau si agen lupa, maklumlah. Makanya yang butuh jangan bosan mengingatkan.

Menjadi agen rahasia memang membuat kita bergairah. Pencarian informasi bisa disedot lewat lingkaran pertemanan, internet, atau kadang tanpa sengaja datang di atas bus, pasar, mal, di mana saja dan dari sembarang orang. Kita tinggal melempar satu dua kata kunci atau pertanyaan dan siap-siap ternganga sendiri saat informasi datang bak banjir.

Pernah sekali, Mamaku yang tanpa sengaja menjadi agen rahasiaku. Waktu itu aku puyeng berat memikirkan sesuatu gitu. Merry dan Lisa sudah angkat tangan. Di suatu Minggu, Mamaku dengan ceria menelepon dan mengatakan informasi yang bikin aku sesak napas itu. Sama seperti Merry, Mamaku juga bilang, "Nona nggak apa-apa kan?" Ya, nggak lah..., dong..., deh!

Aktivitas rahasia ini membuat aku, Lisa, dan Merry seperti punya mata dan telinga terhadap masing-masing. Dengan begitu kita tidak pernah merasa sendirian. Setiap ada pertanyaan atau masalah pasti ada seseorang di antara kita yang siap menjalankan misi rahasia. Dalam kasus-kasus besar dan menyangkut masalah rada pribadi biasanya kita bahas bertiga. Setelah itu kita bubar dengan catatan-catatan kecil entah di atas kertas atau terekam dalam ingatan.

Mungkin karena prestasi masing-masing kita tak jelek-jelek amat :) proyek ini berkembang. Para klien juga bisa dari kakak, adik, teman, atau siapa saja. Saat ini, aku sedang menjalankan misi buat temanku. Aku sudah berkali-kali mencatat nama orang yang dimaksud. Tapi, berkali-kali kertas itu hilang. Aku cuma ingat nama depannya E. Sampai detik ini misi itu belum jalan he he.

Kadang-kadang kita menyimpan rahasia sendiri. Tapi, sepanjang umur persahabatan kita, apa yang sudah terucap meski tanggung--maksudnya menarik ucapan karena belum mau cerita--pasti akan terbongkar juga. Entah dari diri sendiri atau orang lain, pokoknya pasti semuanya akan jelas.

Sering juga satu dari kita di tengah jalan menghentikan misi rahasia. Sebagai agen kita sepakat untuk patuh dan tidak ngotot jalan di luar perintah. Sebab, kita percaya tidak ada rahasia di kolong langit yang tidak akan terungkap. Itu cuma masalah waktu dan pada siapa. Jika informasi itu tidak datang dari kita bertiga, pasti dari orang lain. Simpel.

Namun, suatu kali aku menabrak kesepakatan tidak tertulis itu. Aku menjalankan misi rahasia untuk Lisa. Sebenarnya rencana ini sudah digodok matang oleh kita bertiga. Aku juga sudah dijejali banyak pesan sponsor agar beraksi cantik alias tidak sampai ketahuan. Padahal, selama ini, aku tidak bercacat cela dalam hal itu :) Tapi, di tengah jalan Lisa membatalkan rencana. Padahal, aku sudan memulai beberapa langkah pemanasan.

Biasanya kita selalu memberi kabar setelah satu urusan selesai atau nyaris rampung. Tapi, aku ingin mengubah kebiasaan. Seperti agen benaran, aku ingin memberi laporan berkala. Dalam satu gebrakan saja aku sudah mendapat informasi yang lumayan. Tapi, aku nggak menyangka reaksi Lisa membaca laporan pertamaku.

Tineeeeeeeee............. Auhhhhhhhh bandel banget sih ngana...!!!!! Aku kan udah bilang jangan bergerilya..... Please, misi rahasianya ngana jalankan dengan berdoa dulu ya.... Thanks Tine, i have to end this letter before i cry. Wah. Mengerikan.

Tanpa ba bi bu lagi aku menutup kasus itu. Meski aku tahu dia sama sekali tidak melarang aku melanjutkan misi itu. Tapi, aku sebel banget. Aku hanya ingin membantu dan tinggal satu dua langkah lagi bisa beres urusannya. Tapi, kasihan Lisa. Aku jadi merasa jahat banget. Perlu waktu sekitar 45 menit menelepon untuk minta maaf karena begitu lancang sekaligus meyakinkan Lisa bahwa aku benar-benar berhenti bergerilya. Untung Merry nggak tahu. Kalau tahu Merry bisa saja mendukung aku atau malah ikut memarahiku hiks.

Senin silam, aku seharian dengan Lisa. Ternyata, misi rahasia yang sudah tutup buku itu seolah datang sendiri padanya. Dia bercerita dengan gembira tentang perkembangan indah misi rahasianya. Iya, lucu deh, kadang-kadang kasus yang kita anggap tak ada ujungnya justru seolah-olah menampilkan sendiri akhirnya :)


Wednesday, March 09, 2005
Lingkaran Kasihan

Aku sering mengasihani diri sendiri. Mengasihani dalam pengertianku lebih pada menaruh kasih daripada jatuh iba. Berangkat dari sinilah aku sering mengatakan "kasihan" untuk menanggapi berbagai hal. Bagi orang lain kayaknya aneh, masak aku bilang kasihan pada sahabatku yang baru saja menikah. Tapi, sahabatku tersenyum senang karena dia tahu persis arti ucapanku itu.

Perasaan mengasihani lebih banyak datang saat orang lain mengasihani diriku. Entah itu muncul dalam pengertian menaruh kasih atau jatuh kasihan padaku. Seperti perasaan yang aku alami tak lama berselang.

Aku baru saja dibelikan guci air mineral dan dua wadah plastik untuk cucian. Guci itu berwarna cokelat dengan relief anggur dengan ranting dan daun. Nggak cocok banget ya, anggur warna cokelat :). Maklum yang beli itu adik laki-lakiku. Sedangkan keranjang cucian berbahan plastik itu dua-duanya berwarna ungu. Adikku dikasih duit oleh sepupu tersayangku, Kak Herry, untuk membelikan barang-barang itu buatku.

Hadiah itu benar-benar membuat aku terharu dan merasa dikasihani. Terus terang aku memang kurang peduli dengan hal-hal yang berhubungan dengan diriku sendiri. Perlu orang lain untuk mengasihaniku dengan perkataan, peringatan, dan pemberian hal-hal yang aku nggak yakin apakah itu kebutuhan atau keinginan.

Setiap tamu dekat yang datang ke rumahku pasti mengeluh saat akan minum air. Selama ini kami memakai semacam pompa plastik yang ditempelken di mulut galon air mineral. Di bulan-bulan awal, sekali pompa air langsung meluncur deras. Namun, semakin ke belakang, hanya aku dan dua adikku yang bisa memompa air. Selama ini kita bertiga selalu menyemangati diri sendiri, "Ambil positif, biar lengar ber-spier--otot bahasa Belanda." Padahal, itu cuma alasan yang asal comot tuh :).

Aku langsung berterima kasih dan menyatakan keharuan lewat pesan singkat (SMS). Jenny adikku yang saat itu berada di samping Kak Hery--yang besok menyambung tugas ke Bali--bilang mata kakak sepupuku ini sempat berkaca-kaca. Saat itu, Jenny sedang mengantarkan Kak Herry ke tempat penginapan.

Begitu sampai di rumah, Jenny langsung tanya kenapa Kak Herry hampir menangis. Aku ceritakan alasannya sembari menunjukkan balasan SMS Kak Herry. Kita berdua tertawa keras membaca pesannya. "Ho, biar kalau ada tamu mau minum nggak perlu srot-srot sampai 10 X dan nggak tabrakan dengan tumpukan pakaian kotor. Apalagi kalau tamu dari----(maaf disensor) datang. Aku tahu adikku memang perkasa, tapi butuh yang bgt2 [begitu] juga he he he."

Guci air mineral ini persoalan yang sangat sepele memang. Tapi, seperti yang aku bilang tadi, kadang-kadang aku memang kesulitan membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Sudah berkali-kali guci ini aku masukan dalam daftar belanja bulanan. Tapi, nggak tahu kenapa selalu saja lewat.

Minggu silam juga iparku menawarkanku mesin cuci. Mungkin dia kasihan melihat aku hiks. Memang, baju kotor tiga ponakanku menggunung di tempatku. Ronny adikku yang kebagian peran tukang cuci ogah mencuci pakaian mereka. Artinya aku dong yang harus mencuci.

Sampai sekarang kulit tanganku masih terasa kering. Kulit di sekitar daerah yang berbatasan dengan kuku jari manis, tengah, dan telunjuk kiriku juga masih lecet. Susah juga sih mau bilang bahwa aku benar happy mencuci baju kecil-kecil itu. Nggak ada yang percaya. Padahal, tumpukan baju kotor--dan segunung masalah yang berhubungan dengan bersih-bersih di rumah--menjadi salah satu alasanku untuk mengisi hari. Sementara yang lain tidak tahu harus berbuat apa, termasuk Jenny adikku, aku malah merasa 24 jam itu kadang tidak cukup. Apalagi pakai dipotong waktu tidur. Aneh kan, memang he he he.

Kadang-kadang aku harus mengingatkan diriku agar jangan terlalu bersemangat menyingsing lengan begitu. Bisa-bisa sakit. Ini sering terjadi. Soalnya aku selalu merasa kelebihan energi he he he. Syukur-syukur adikku kasihan (tuh kan kasihan lagi) melihat aku dan mengambil alih semua itu. Tapi, ini jarang.

Tawaran iparku itu aku tolak. Lebih baik dia mengurusi keponakanku saja. Heran deh, ternyata aku dikasihani karena tidak mampu membeli sesuatu yang bisa aku beli mmm enam atau 12 sekaligus :).

Sepanjang hidup aku dikitari perasaan kasihan dengan dua maksud itu. Aku ingin berbagi rahasia di sini. Sebenarnya Tuhan memberi aku begitu banyak berkat untuk memenuhi kebutuhanku. Lagian apa sih yang aku butuhkan? Asal ada makanan, pakaian, dan tempat berteduh cukuplah.

Sementara semua daftar keinginanku aku serahkan pada Tuhan. Memang tidak percuma, seperti guci dan keranjang cucian itu. Ini membuat aku merasa menjadi orang yang beruntung. Semua yang terjadi seperti sudah diatur. Aku selalu tersenyum mendapati aku benar-benar dikasihani.

Aku jadi ingat ketika Moses, Wulan, dan Nera bergantian mendoakanku. "Kasihan, Ne sakit." Padahal, aku cuma masuk angin dan harus tidur yang lebih panjang dari biasanya. Masih banyak kasihan lagi yang membuat aku terus-terus bersyukur karena dikelilingi orang yang mengasihani aku. Mau menangis rasanya.

Saat menulis ini Ria Satri--jangan kecele dia cowok--memberikan voucher potong rambut di salah satu salon produk kosmetik tradisional. Aku tidak tahu apakah dia kasihan melihat rambutku. Tapi nggak mungkin deh, rambutku dalam kondisi aman terkendali, baru creambath kemarin :) Lagian, ada begitu banyak orang di kantor, kenapa juga aku yang dikasih? Ahhh, repot-repot amat.

Saat ini yang terpikir adalah betapa aku hidup di antara lingkaran kasihan banyak orang. Ini membuat aku tak berhenti mengucap terima kasih pada Tuhan, betapa Tuhan mengasihaniku sangat.


Tuesday, March 08, 2005
U di Balik B

Ronny datang dengan piring ceper bundar penuh biskuit cracker yang diolesi mentega bertabur mesis cokelat. Aku dan Hani, istri abangku, sedang bercerita di pagi hari. Senang juga bercerita tanpa suara berisik tiga keponakanku. Moses dan Wulan ke sekolah. Si centil Nera lagi bermain di rumahnya.

Ronny datang lagi. Kali ini membawa teko teh dengan tiga cangkir lengkap dengan tatakan. Uap teh tampak berebut keluar dari belalai teko. Aku dan Hani berpandangan. Senyum-senyum kecil. Mau bilang tumben, nggak enak. Tapi kalau nggak berkomentar kok seperti nggak peduli pada adik bungsuku ini.

Aku mengatakan terima kasih dengan senyum lebar dan dibalas Ronny dengan senyum dengan lebar yang kurang lebih setara. Beberapa saat kemudian, dia datang lagi dengan beschuit met muisjes yang ditata rapi di piring datar bundar ukuran lebih kecil.

Biskuit dengan mesis ini penganan dalam kondisi kepepet. Bahannya pasti ada di toko sebelah rumah. Kudapan lezat dan memikat ini aku kenal pertama kali di pesta salah satu keponakan tanteku. Aku melihat Oma, mami tanteku, bercerita dengan tangan tak berhenti mengolesi biskuit Regal yang bulat itu dengan mentega kemudian menambahkan mesis cokelat di atasnya. Oma yang lebih sering bicara dalam bahasa Belanda ini memberikan pada setiap cucu yang datang dan pergi. Pembagian biskuit tidak berhenti selama ada cucu yang menadahkan tangan.

Salah seorang teman Belandaku bilang, di Negeri Ratu Juliana, beschuit met muisjes dihidangkan pada saat kelahiran bayi. Setiap tamu yang datang disuguhi kue kering yang ditaburi mesis atau butiran gula halus. Jika bayinya perempuan mesisnya berwarna merah muda. Kalau laki mesisnya biru muda.

Hmmm, membayangkan Ronny sibuk sendirian di dapur. Mengoles sekitar 20-an biskuit satu per satu. Membubuhi mesis dan menjaga agar tidak tumpah. Terus membuatkan teh buat dua kakaknya. Aku merasa seperti nyonya besar :)

Mamaku pasti menangis melihat ini. Jika tidak, pasti buru-buru ke dapur dan mengambil alih urusan ini. Kemudian Ronny disuruh duduk dan gantian melayani anak bungsunya yang dipanggil Papa Raja itu. Maklum semua laki-laki di rumahku diperlakukan bak raja.

Aku senang melihat adikku melayani kakak perempuannya. Dan ini bukan sekali dua kali dilakukan. Memang sih, pelayanan ini dilakukan dengan niat-niat tertentu. Pasti ada Udang di balik Batu. Sudah kebaca deh gayanya. Tapi, tak apalah.

Selama ini, semua laki-laki di rumahku adalah raja. Mereka selalu dilayani. Bisa jadi karena inilah Ronny dan abangku tidak pernah tahu pekerjaan rumah tangga, sama seperti ayahku. Bedanya, sekarang, Ronny dan abangku lebih punya banyak kesempatan untuk mengisi jam-jam "magang" yang terbuang bertahun-tahun itu :) Sedangkan ayahku masih tetap jadi raja minyak :)

Sejak bersama aku, adik bungsuku ini belajar banyak soal pembagian kerja. Tak ada pekerjaan baik yang pantang bagi manusia. Tak ada istilah tugas perempuan dan laki. Sebab, dengan pemikiran seperti itu, dia cuma kuliah saja. Benar kan. Coba deh, urusan dapur, perempuan. Beres-beres rumah perempuan. Lalu dia ngapain aja?

Sudah nggak zaman lagi dia harus mengantar aku dan Jenny ke sana ke mari. "Aku sering bercanda nanti siapa yang menjaga siapa?" Aku dan adikku juga sudah terbiasa pulang malam bahkan pagi tanpa takut. Masalah listrik juga tinggal panggil tukang. Urusan dengan pak RT dan segala hal administrasi juga aku yang maju. Lalu, dia ngapain aja?

Memang tidak mudah bagi aku dan adikku. Aku dibiasakan menjadi pelayan laki, perempuan, dan diriku sendiri sebagai manusia. Pengalaman ini membuat aku lebih mampu menyelesaikan beberapa pekerjaan di rumah sekaligus dalam satu jam. Sebaliknya Ronny bisa mengerjakan itu dalam sehari. Gondok banget kalau dalam kondisi begini. Tapi, mau bagaimana lagi ya, namanya juga berproses he he he.

Kita sering berdiskusi tentang masalah ini. Dia selalu mengeluh, meski dia tahu bahwa dalam hal itu ada perubahan yang lumayan. Sebaliknya, aku juga sadar terlalu sering melakukan banyak hal dengan caraku sendiri. Aku sering tidak sabar melihat sesuatu yang tidak beres dan segera mengambil tindakan. Padahal, ini mungkin bisa membuat dia tersinggung. Dan yang lebih buruk, adikku ini tidak punya kesempatan belajar.

Aku ingin sekali melihat adik laki-lakiku ini menjadi pemimpin, minimal bagi dirinya. Dia bisa menjadi tuan yang memberi perintah bukan menunggu perintah. Menurut aku ini bisa terjadi dengan latihan menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan kecil di rumah. Di sisi lain, kadang-kadang aku merasa dia sebal karena bekerja seperti pembantu rumah tangga. Please deh. Sakit nggak sih.

Heran deh, kenapa ada yang berpikir rendah tentang pekerjaan pembantu. Apakah gengsi seseorang bisa turun karena mencuci pakaian, menyapu rumah, dan mengepel lantai? Atau seseorang menjadi terhormat lantaran tak pernah mengurusi pekerjaan di dapur yang selama ini dianggap urusan perempuan? Kenapa melayani keluarga dengan urusan-urusan di dapur lebih banyak dilakukan oleh perempuan? Lantas kapan perempuan dilayani?

Aku sangat bangga pada adikku yang mau belajar. Aku melihat banyak hal yang berubah darinya. Mamaku juga sependapat denganku. Ronny tidak sungkan lagi masuk dapur, membersihkan rumah, dan mengurusi berbagai urusan dapur. Tapi, dia memang belum pernah ke pasar membeli sayur. Aku dan dia memang sampai sekarang nggak pintar-pintar memilih sayur yang bagus, ikan yang masih baru, dan daging yang apa ya... menulis saja bingung :)

Pernah sekali dia bercerita bahwa teman-teman perempuannya heran melihat dia langsung ambil posisi mencuci piring saat ada pesta di organisasinya. Dia juga tidak sungkan-sungkan menyapu dan membersihkan markas mereka. Menyenangkan sekali mendengar ini.

Aku selalu mendorongnya untuk menjadi pemimpin. Dia laki-laki. Pemimpin itu tahu yang dia mau. Tak gagap mengambil keputusan dan selalu siap dengan segala risiko. Pemimpin itu juga harus siap ditolong. Tapi di atas semuanya itu, pemimpin adalah pelayan.

Saat minum teh dan makan biskuit met mesis aku berdoa agar Ronny--dan semua laki-laki--diberi hati untuk mau berbagi tugas rumah tangga. Aku juga berdoa agar dia menjadi pemimpin dan pelayan yang baik bagi siapapun terutama bagi perempuan yang selalu kebagian menjadi pelayan. Aku juga berdoa agar makin banyak pelayanan kecil yang dibuat adikku, meski ada U di balik B sekalipun :)

(Happy Women`s Day to Me and You!)


Tuesday, March 01, 2005
Be Your Self
Francois Fenelon

There are many people who are sincere without being simple: they are ever afraid of being seen for what they are not; they are always musing over their words and thoughts and thinking about what they have done, in fear of having done or said too much. These people are sincere, but they are not simple: they are not at ease with others, and other people are not at ease with them. There is nothing easy about them, nothing free, spontaneous or natural. People who are imperfect, less regular, less masters of themselves, are more lovable. This is how people find them, and it is the same with God.


home

my book
It's my first book!
messages
Name :
Web URL :
Message :


archives
February 2004
March 2004
April 2004
May 2004
June 2004
July 2004
August 2004
September 2004
October 2004
November 2004
December 2004
January 2005
February 2005
March 2005
April 2005
May 2005
June 2005
July 2005
August 2005
September 2005
October 2005
November 2005
December 2005
January 2006
February 2006
March 2006
April 2006
May 2006
June 2006
July 2006
August 2006
September 2006
October 2006
November 2006
December 2006
January 2007
February 2007
March 2007
April 2007
May 2007
June 2007
July 2007
December 2007
January 2008
February 2008
May 2008
July 2008
August 2008
November 2008
January 2009
February 2009
March 2009
August 2009
October 2009
April 2011
June 2011
July 2011
November 2011
December 2011
April 2012
June 2012
November 2013
December 2014

links
Detik
Desa-Pelangi
Tempo
Kompas
Liputan6
Journey
Christian Women

resources
Tagboard
Blogger
Google
SXC
HTML
Haloscan
Gettyimages

hit counter
Free Web Counter

BlogFam Community