<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6496619\x26blogName\x3d-::+L+O+V+E+will+S+E+T+you+F+R+E+E::\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://tinneke.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://tinneke.blogspot.com/\x26vt\x3d-6149671454343776068', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
Tuesday, October 26, 2004
Aku dan Ayah

Kata orang, anak laki-laki punya kecenderungan dekat dengan ibu dan anak perempuan dekat dengan ayahnya. Aku termasuk yang membenarkan itu. Meski kenyataan ini tidak berlaku bagi semua orang.

Aku nggak malu mengaku bahwa aku memang dekat dengan ayahku. Dekat sekali malah. Aku ingat hampir semua kejadian antara aku dan ayahku. Aku sendiri juga heran kenapa sih aku begitu dekat dengan ayahku yang super galak itu. Bahkan, Ibuku yang mantan pacar ayah itu kadang-kadang iri karena aku lebih lepas bercerita ke ayah daripada ibu.

Baru-baru ini seorang teman bertanya apakah ayah adalah cinta pertamaku? Aku tertawa. "Nggaklah nggak mungkin," kataku. Cinta pertamaku sama... (malu ah he he) Habis sampai sekarang kalau bertemu dia aku masih salah tingkah. Dia pastor sekarang (o o).

Hal yang paling aku inginkan sekarang adalah berada di dekat ayahku saat ini juga. Setiap ada masalah aku selalu ingat ayah. Bahkan, di puncak kekesalan dengan seseorang aku selalu berkata (dalam hati) "Awas, aku bilangin ayah tahu rasa!" Kata-kata ini sering aku keluarkan bila sebal sama saudara-saudaraku. Dasar anak ayah kata mereka.

Aku sering menggoda ibuku, "Mama salah pilih suami nih," dan ibuku menjawab, "Iya, salah nih!" Soalnya ibuku super romantis dan ayahku dingin habis. Ayahku sangat rasional dan nyaris tanpa hati. Ibuku sebaliknya. Ibuku juga sering mengatakan bahwa dia tidak mencintai ayahku dan mempertahankan perkawinan karena kami, anak-anaknya. "Nggak cinta kok anaknya enam ya," kataku menggoda. Ibu selalu tersenyum malu.

Begitulah. Aku tidak dibesarkan dalam keluarga harmonis. Tapi aku justru mencintai ayahku yang juga biang kerok dalam keluargaku. Mungkin itu adalah reaksiku untuk mempertahankan diri dalam situasi yang tidak menyenangkan. Aku menjadi anak kesayangannya supaya tidak dimarahi ayah. Atau ayah memang benar-benar sayang padaku tanpa alasan. "Saya tidak tega, dia begitu penakut dan penurut," kata ayah buka rahasia.

Bagaimana aku tidak penakut. Aku tidak pernah ke mana-mana tanpa ditemani saudara. Setiap makan aku dan adikku yang bungsu harus ada di meja makan. Sekali-kali aku bandel. Aku bermain sampai lupa jam makan siang atau malam. Tapi, aku akan dicari dan dimarahi oleh seluruh anggota keluarga. Ayahku tidak akan makan kalau aku tidak ada di meja makan. Sampai segede ini, setiap liburan, aku juga harus tetap ada di rumah setiap makan siang atau malam. Kalau tidak ayah tidak akan makan. Padahal, ayah dalam kondisi sakit. Aku memilih menjadi anak manis. Tidak rugi. Masakan ibu lebih enak dan aku memang liburan untuk mereka kan.

Ayah adalah sosok yang berkarakter kuat. Dia tidak pernah ke gereja tapi memaksa kami untuk ke gereja kalau perlu setiap hari. Dia juga tidak pernah aktif di kegiatan lingkungan tapi menginstruksi kami untuk rajin berdoa kelompok, koor, dan ikut bermacam-macam kegiatan. Ayah juga tidak pernah menyuruh kami belajar (aku sampai iri sama ayah teman-temanku yang memaksa anak-anaknya belajar) tapi dia yang akan menerima sendiri rapor kami dengan pakaian dinas jika nilai kami bagus.

Aku tidak pernah berani berbuat aneh-aneh. Sebab, ayah seperti punya mata dan telinga. Tiba-tiba saja dia akan bertanya tentang apa yang sedang aku sembunyikan. Ini terjadi berulang kali. Ayah jugalah yang sejak kecil mengarahkan aku untuk menjadi wartawan. Dia tidak pernah bosan menjawab pertanyaanku. Dia adalah teman diskusi pertamaku. Bahkan ketika kecil aku tidak bisa tidur tanpa mengusap-usap leher ayahku. Aku bahkan meminta ayah agar tidak mencukur licin bulu di lehernya. Ini tidak mungkin aku lakukan pada ibu. Begitu menyentuh lehernya, plak, tanganku langsung ditepok.

Aku ingat aku jarang sekali sakit. Kalaupun sakit ibu jarang membawaku ke dokter. Sebab, begitu mendengar suara ayah--yang sering jarang di rumah karena tugas--atau digendong ayah aku langsung sembuh. Panas dan demam lenyap nyap nyap.

Pertama kali kuliah di Jakarta, aku benar-benar takut. Tapi ayah yang mendorongku. Saat berpisah tidak ada satu titik air mata buat ibu. Sebaliknya, aku memeluk erat ayahku dan menangis terisak. Saat itu ayahku sengaja memakai kaca mata hitam dengan lensa besar dan topi baretta. Aku tahu dia sengaja memakai kaca mata dan topi untuk menyembunyikan air matanya.

Terlalu banyak kenangan tentang ayah. Aku juga tidak tahu kenapa aku menulis ini. Satu hal yang aku simpulkan bahwa aku mencintai ayah bukan karena kelebihannya. Tapi aku mengasihi dia karena aku tahu bahwa dia manusia biasa dengan segunung masalah sama seperti aku. Berangkat dari situlah aku bisa melihat begitu banyak hal baik dari dirinya.

Bahkan, ketika dia berada dalam sakral maut, aku pernah berdoa pada Tuhan, "Biarkan ayah yang hidup dan saya yang mati." Waktu itu aku masih sekolah dasar. Doa yang sama aku ucapkan ketika aku mahasiswa tingkat tiga, saat ayah diberikan sakramen pengurapan orang sakit karena serangan stroke. Aku memang selalu berada di sisi ayah di saat bahagia dan kritis. Mungkin karena itulah aku begitu mencintai ayahku. Sampai sekarang.

Aku tidak pernah berhenti bersyukur pada Tuhan karena telah memberi aku ayah dunia yang tidak sempurna. Sebab ayahkulah orang yang pertama mengenalkan aku pada Tuhan yang Maha Sempurna. Terima kasih Tuhan. I love you father, miss you much!


Friday, October 22, 2004
Too Busy
(The Devil's Convention)

Satan called a worldwide convention. In his opening address to his evil angels, he said, "We can't keep the Christians from going to church. We can't keep them from reading their Bibles and knowing the truth. We can't even keep them from conservative values. But we can do something else. We can keep them from forming an intimate, abiding relationship experience in Christ. If they gain that connection with Jesus, our power over them is broken. So let them go to church, let them have their conservative lifestyles, but steal their time, so they can't gain that experience in Jesus Christ. This is what I want you to do, angels. Distract them from gaining hold of their Savior & maintaining that vital connection throughout their day!"

"How shall we do this?" shouted his angels.

"Keep them busy in the non-essentials of life and invent innumerable schemes to occ upy their minds," he answered. "Tempt them to spend, spend, spend, then, borrow, borrow, borrow. Convince the wives to go to work for long hours and the husbands to work seven days a week, 10-12 hours a day, so they can afford their lifestyles. Keep them from spending time with their children. As their family fragments, soon, their homes will offer no escape from the pressures of work."

"Over-stimulate their minds so that they cannot hear that still small voice. Entice them to play the radio or cassette player whenever they drive, to keep the TV, VCR, CDs, and their PCs going constantly in their homes. And see to it that every store and restaurant in the world plays non-biblical music constantly. This will jam their minds and break that union with Christ."

"Fill their coffee tables with magazines and newspapers. Pound their minds with the news 24 hours a day. Invade their driving moments with billboards. Flood their mailboxes with junk mail, sweepstakes, mail order catalogues, and every kind of newsletter and promotional offering, free products, services, and false hopes."

"Even in their recreation, let them be excessive. Have them return from their recreation exhausted, disquieted and unprepared for the coming week. Don't let them go out in nature to reflect on God's wonders. Send them to amusement parks, sporting events, concerts and movies instead. And when they meet for spiritual fellowship, involve them in gossip and small talk so that they leave with troubled consciences and unsettled emotions."

"Let them be involved in soul-winning. But crowd their lives with so many good causes that they have no time to seek power from Christ. That way, working in their own strength, they'll be ineffective and soon they'll be sacrificing their health and family unity for the good of the cause."

It was quite a convention in the end. And the evil angels went eagerly to their assignments-causing Christians everywhere to get busy, busy, busy and rush here and there.

Has the devil been successful at his scheme? You be the judge.

P.S. I once heard it said that BUSY is:
B-being
U-under
S-Satan's
Y-yoke

Author Unknown


Wednesday, October 20, 2004
Don't Just Assume
Gabriel Garcia Marquez

Always say what you feel, and do what you think is good and right.

If I knew that today would be the last time I`d see you, I would hug you tight and pray the Lord be the keeper of your soul.

If I knew that this would be the last time you pass through this door, I`d embrace you, kiss you, and call you back for one more.

If I knew that this would be the last time I would hear your voice, I`d take hold of each word to be able to hear it over and over again.

If I knew this is the last time I see you, I`d tell you I love you, and would not just assume foolishly you know it already.


Tuesday, October 19, 2004
57 Cents

Seorang anak gadis kecil sedang berdiri terisak di dekat pintu masuk sebuah gereja yang tidak terlalu besar. Dia baru saja tidak diperkenankan masuk ke gereja karena "sudah terlalu penuh". Seorang pastur lewat di dekatnya dan bertanya kenapa gadis kecil itu menangis. "Saya tidak dapat ke Sekolah Minggu," kata si gadis kecil.

Melihat penampilan yang acak-acakan dan tidak terurus, sang pastur segera mengerti dan bisa menduga alasan gadis kecil ini tidak disambut masuk ke Sekolah Minggu. Pastur segera menuntun si gadis kecil ke ruangan Sekolah Minggu di dalam gereja dan mencarikan tempat duduk yang masih kosong untuknya.

Perasaan gadis kecil ini sangat tergugah sehingga menjelang tidur malam itu ia sempat memikirkan anak-anak lain yang senasib dengan dirinya. Anak-anak lain yang sepertinya tidak mempunyai tempat untuk memuliakan Yesus. Dia menceritakan perasaannya pada orang tuanya yang dari kalangan tak berpunya. Si ibu menghiburnya dan mengatakan bahwa ia masih beruntung mendapatkan pertolongan dari seorang pastur.

Sejak saat itu si gadis kecil "berkawan" dengan sang pastur. Dua tahun kemudian, si gadis kecil meninggal di tempat tinggalnya di daerah kumuh. Orang orang tuanya meminta bantuan pastur yang baik hati itu untuk memimpin prosesi pemakaman yang amat sangat sederhana. Saat pemakaman selesai dan ruang tidur si gadis dirapikan, sebuah dompet usang, kumal, dan sobek-sobek ditemukan. Mungkin dompet itu dipungut si gadis kecil dari tempat sampah.


Di dalamnya ditemukan uang receh sejumlah 57 cents dan secarik kertas bertulisan tangan anak kecil. Isinya, "Uang ini untuk membantu pembangunan gereja kecil agar gereja bisa diperluas sehingga lebih banyak anak bisa menghadiri Sekolah Minggu." Rupanya selama dua tahun, sejak ia tidak dapat masuk ke gereja itu, si gadis kecil mengumpulkan dan menabung uangnya sampai terkumpul sejumlah 57 cents untuk maksud yang sangat mulia.

Ketika sang pastur membaca catatan kecil ini, matanya sembab dan ia sadar apa yang harus diperbuatnya. Berbekal dompet tua dan catatan kecil ini, sang pastur segera memotivasi para pengurus dan jemaat gereja untuk meneruskan niat mulia si gadis kecil ini untuk memperbesar bangunan gereja. Namun ceritanya tidak berakhir sampai di sini.

Suatu perusahaan koran yang besar mengetahui berita ini dan mempublikasikannya terus-menerus. Sampai akhirnya seorang pengembang membaca berita ini dan segera menawarkan suatu lokasi yang berada di dekat gereja kecil itu dengan harga 57 cents. Pasalnya, para pengurus gereja menyatakan tak mungkin sanggup membayar lokasi sebesar dan sebaik itu. Para anggota jemaat pun dengan sukarela memberikan donasi dan memberitakan rencana ini ke semua orang.

Akhirnya bola salju yang dimulai gadis kecil itu bergulir. Dalam lima tahun para jemaat berhasil mengumpulkan dana sebesar US$ 250 ribu. Suatu jumlah yang fantastis saat itu (kala pergantian abad, jumlah ini dapat membeli emas seberat 1 ton). Inilah hasil nyata cinta kasih seorang gadis kecil yang miskin, kurang terawat dan kurang makan, namun peduli pada sesama yang menderita. Tanpa pamrih, tanpa pretensi.

Saat ini, jika Anda berada di Philadelphia, Amerika Serikat, lihatlah Temple Baptist Church, dengan kapasitas duduk untuk 3.300 orang dan Temple University, tempat beribu-ribu murid belajar. Lihat juga Good Samaritan Hospital dan sebuah bangunan spesial untuk Sekolah Minggu yasng lengkap dengan beratus-ratus, ya beratus-ratus pengajarnya, semuanya itu untuk memastikan jangan sampai ada satu anak pun yang tidak mendapat tempat di Sekolah Minggu.

Di dalam salah satu ruangan bangunan ini terpampang foto si gadis kecil yang dengan tabungannya sebesar 57 cents, yang dikumpulkan berdasarkan rasa cinta kasih sesama yang telah membuat sejarah. Tampak pula berjajar rapi foto sang pastur yang baik hati yang telah mengulurkan tangan kepada si gadis kecil miskin itu, yaitu pastor DR. Russel H.Conwell penulis buku Acres of Diamonds A True Story. Kenyataan sejarah yang kolosal ini bisa memberikan petunjuk kepada kita semua apa yang dapat TUHAN lakukan terhadap uang 57 cents.


Thursday, October 14, 2004
Choices

It's quiet. It's early. My coffee is hot. The sky is still black. The world is still asleep. The day is coming. In a few moments the day will arrive. It will roar down the track with the rising of the sun. The stillness of the dawn will be exchanged for the noise of the day. The calm of solitude will be replaced by the pounding pace of the human race. The refuge of the early morning will be invaded by decisions to be made and deadlines to be met. For the next twelve hours I will be exposed to the day's demands. It is now that I must make a choice. Because of Calvary, I'm free to choose. And so I choose.

I choose love. No occasion justifies hatred; no injustice warrants bitterness. I choose love. Today I will love God and what God loves.

I choose joy. I will invite my God to be the God of circumstance. I will refuse the temptation to be cynical ... the tool of the lazy thinker. I will refuse to see people as anything less than human beings, created by God. I will refuse to see any problem as anything less than an opportunity to see God.

I choose peace. I will live forgiven. I will forgive so that I may live.

I choose patience. I will overlook the inconveniences of the world. Instead of cursing the one who takes my place, I'll invite him to do so. Rather than complain that the wait is too long, I will thank God for a moment to pray. Instead of clinching my fists at new assignments, I will face them with joy and courage.

I choose kindness. I will be kind to the poor, for they are alone. Kind to the rich, for they are afraid. And kind to the unkind, for such is how God has treated me.

I choose goodness. I will go without a dollar before I take a dishonest one. I will be overlooked before I will boast.

I faithfulness. Today I will keep my promises. My debtors will not regret their trust. My associates will not question my word. My wife will not question my love. And my children will never fear that their father will not come home.

I choose gentleness. Nothing is won by force. I choose to be gentle. If I raise my voice may it be only in praise. If I clench my fist, may it be only in prayer. If I make a demand, may it be only of myself.

I choose self-control. I am a spiritual being. After this body is dead, my spirit will soar. I refuse to let what will rot, rule the eternal. I choose self-control. I will be drunk only by joy. I will be impassioned only by my faith. I will be influenced only by God. I will be taught only by Christ. I choose self-control.

Love, joy, peace, patience, kindness, goodness, faithfulness, gentleness, and self-control. To these I commit my day. If I succeed, I will give thanks. If I fail, I will seek his grace. And then, when this day is done, I will place my head on my pillow and rest.

Max Lucado, from When God Whispers Your Name


Monday, October 11, 2004
It Begins at Home
Mother Teresa of Calcutta


The world is upside down because there is so very little love in the home. We have no time for our children; we have no time for each other; and there is no time to enjoy each other. That is why there is so much suffering and so much unhappiness in the world today. Everybody seems to be in such a terrible rush, anxious for what is bigger and better and greater, and mothers and fathers often do not have time for each other, let alone their children. In the home begins the disruption of the peace of the world.

Saturday, October 09, 2004
Kado

Hari ini kakak perempuanku ulang tahun. Untuk pertama kalinya aku memberi dia kado. Ya, baru kali ini aku memberi dia hadiah yang dibungkus dengan kertas kado berwarna ungu muda. Tak ada pita sih. Bungkusannya juga tidak rapi-rapi amat. Lumayan buat pemula :). Di dalam kado aku selipkan kartu ucapan yang intinya aku diberkati punya kakak seperti dia.

Adikku yang lain protes. "Kok aku nggak pernah dikasih kado," kata dia sewot. Ulang tahun dia baru lewat dua pekan. Aku memberi dia uang biar dia sendiri yang membeli barang yang dia mau. Efektif dan nggak repot, begitu aku pikir.

Selama ini aku memang kurang peduli dengan kado. Meski berkali-kali menerima kado. Setiap membuka kado aku selalu bicara dalam hati, kenapa harus dibungkus. Toh, pembungkusnya yang indah sebentar lagi sobek sana sini. Begitu juga dengan pitanya pasti ke keranjang sampah juga.

Tak semua pemberian itu berguna sehingga tidak jarang aku berikan lagi pada orang lain. Biasanya aku langsung bilang pada si pemberi hadiah bahwa aku kurang suka atau berbagai komentar seperti itu. (Jahat ya? Tapi itu jujur. Gimana dong?)

Ibuku yang paling sering memberiku hadiah. Tapi, aku lebih bersemangat mendapat hadiah dari ayah. Sebab, meski jarang sekali, bisa dihitung dengan jari, apa yang diberi selalu bisa dipergunakan, fungsional. Mulai dari jam tangan, setelan kaos olah raga berwarna krem, buku Ensiklopedia Orang Kudus, dan izin untuk jalan-jalan keliling Flores. (Tuh kan, aku hafal semuanya). Hadiahnya juga diberikan tanpa pembungkus. Tapi, setiap pemberian aku terima dengan bersorak-sorak setelah mencium dan memeluk ayahku. Setelah itu, aku keliling memamerkan hadiah itu dan selalu mengatakan pada setiap tamu yang datang. Seru.

Sebaliknya, aku berkali-kali mengingatkan Ibu agar tidak memberiku hadiah, maksudnya dengan bungkusan yang indah-indah itu. Kalau aku ulang tahun, cukup misa pagi saja. Aku tidak mau Ibuku kecewa karena responsku standar setiap menerima kado. Tersenyum, mencoba barang yang dikasih, mencium dan memeluk Ibu, selesai. Saat menulis ini, aku sedang berpikir keras apa ya hadiah Ibu yang masih aku ingat. (Masih berpikir... benar-benar lupa... :)

Sampai sekarang ada beberapa hadiah yang tidak pernah aku pakai. Termasuk satu set perhiasan yang diatur manis dalam kotak beludru berwarna biru. Itu hadiah ulang tahun dari my lovely best friend, Lisa. Aku sudah menolak, tapi dia malah marah (memberi kado kok pake adegan melotot segala sih Lis). Dan, memang aku memang tidak pernah memakai kalung, cincin, dan gelang itu. Tapi, aku juga belum rela memberikan pada orang lain.

Bisa jadi karena itu, aku benar-benar tidak peduli sekali pada kado. Aku selalu membeli hadiah sesuai permintaan. Tak ada kejutan. Setiap ulang tahun, Natal, dan acara-acara lain, aku selalu bertanya mau uang atau barang. Tak jarang aku mengajak orang yang berbahagia itu ke toko untuk memilih apa saja yang dia mau atau ke tempat makan mana saja yang dia ingin. Jika tidak punya uang dan waktu, aku sering (kalau ingat) mengirim kartu ucapan atau menelepon memberi ucapan selamat. Yang pasti, aku selalu berusaha untuk misa pada hari menyenangkan itu.

Terus, kenapa aku memberi kado pada kakakku?

Bulan Mei kemarin, Moses kecilku ulang tahun yang kelima. Sebulan sebelumnya dia sudah minta dibelikan Alkitab. Ajaib kan. Makanya, sebelum hari ulang tahun, aku sudah membelikan dia buku "My First Bible". Beberapa hari sebelum tanggal 21 Mei, aku menelepon lagi bahwa aku cuma datang dengan kue ulang tahun.

Tapi, pada hari H, Mosesku marah-marah karena aku tidak membawa kado. Dia menangis keras. Ternyata dia mau diberi hadiah dengan bungkusan yang manis-manis itu. Aku bingung. Untuk pertama kalinya dalam hidup aku memarahi diri karena tidak memberi kado dengan pita dan kertas warna-warni itu.

Moses diam setelah kuberi uang seribu perak untuk membeli Chicky--makanan ringan yang ber-monosodium glutamate (msg) tinggi itu. "Moses boleh beli Chicky?," kata dia. Begitu aku bilang iya, dia langsung meloncat, mencium dan memelukku. "Hore aku boleh beli Chicky." (Ternyata reaksi menerima kado yang disenangi bisa menular juga)

Selama ini, aku tidak pernah memberi dia uang seperak pun. Setiap melihat dia makan Chicky dan makanan tak bermutu sejenis itu aku selalu mengacungkan jari kelingking: tanda marahan. Dia sering membuang makanan itu atau makan diam-diam di luar rumah. Ternyata di hari ulang tahun yang ke-5 itu, dia girang karena menerima dua hal yang tidak pernah dia dapatkan.

Sebulan kemudian, aku mencari kado buat salah satu sepupuku di toko buku. Aku pergi bersama Lisa. Setelah putar sana, putar sini, aku menemukan hadiah buat sepupku itu. Waktu ulang tahun sepupuku dengan Lisa berdekatan, sama-sama bulan April. Seperti biasa aku meminta Lisa memilih apa saja yang dia suka.

Lisa menarik tanganku ketika aku mendekati kasir. "Beli pita dulu," kata dia. Aku ikut meliha-lihat pita meski ogah-ogahan. Pada saat itulah tanpa sengaja aku mendengar Lisa bergumam "Kapan ya, gue dikasih hadiah dengan kertas kado dan pita." Pelan sih tapi dalam.

Lihat, setelah bertahun-tahun bersahabat, aku tidak tahu apa yang Lisa inginkan. Betapa egoisnya aku. Membungkus kado dengan pita tidak akan membuat aku putus napas. Persoalan sepele malah. Tinggal kasih barang, kertas kado, dan pita pada petugas pembungkus kado yang ada di setiap toko. Apalagi coba, tidak ada alasan untuk mengelak.

Begitulah, hari itu aku melihat sesuatu yang lain dari kado yang dibungkus manis-manis itu. Memberi itu untuk menyenangkan orang lain bukan untuk memuaskan diri sendiri. Terserah kalau aku tidak peduli dengan kertas kado dan pita. Tapi itu bukan alasan untuk tidak memberikan itu pada orang lain--seperti Lisa, Moses, dan masih banyak lagi--yang benar-benar menyukai itu.


Friday, October 08, 2004
From a Youth Pastor...

Greece said , "Be wise, know yourself!"

Rome said, "Be strong, discipline yourself!"

Religion says, "Be good, conform yourself!"

Epicureanism says, "Be sensuous, enjoy yourself!"

Education says, "Be resourceful, expand yourself!"

Psychology says, "Be confident, assert yourself!"

Materialism says, "Be satisfied, please yourself!"

Pride says, "Be superior, promote yourself!"

Asceticism says, "Be capable, believe in yourself!"

Legalism says, "Be pious, limit yourself!"

Philanthorpy says, "Be generous, release yourself!"

Jesus said, "Be a servant , give yourself!"


Thursday, October 07, 2004
Jenderal tanpa Ekspresi


"Papa kok kerja terus." Kata-kata ini meluncur dari mulut seorang gadis kecil ketika si ayah pamit pada dia dan Mamanya selesai makan siang. Waktu itu hari Minggu. Si ayah menatap putri semata wayangnya dengan wajah tanpa ekspresi. Tapi, matanya menunjukkan penyesalan. Dia tidak percaya anaknya belum juga memahami pekerjaannya. Sorot ayahnya membuat si anak sadar dia begitu egois. "Sejak itu saya tidak pernah lagi protes jika Papa pergi," kata si anak.

Si anak memang lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Ibu. Sebab, tak jarang ayahnya pamit pergi dua hari. Namun, bisa kembali dua bulan atau bahkan dua tahun. Karena itu, saat-saat bersama selalu dimanfaatkan betul. Namun, tetap saja, si anak mengaku tidak terlalu banyak bicara dengan ayahnya yang kata orang seram itu.

Sekali waktu, si anak meminta ayahnya membelikan dia celana Levi`s 501. "Kamu kan masih punya jean`s kenapa beli lagi," kata sang ayah, lagi-lagi tanpa ekspresi. Teguran ini membuat si anak tersentak. Kenapa sih mesti merepotkan ayahnya hanya untuk minta dibelikan sepotong jean`s. "Sejak itu saya berhenti meminta pada Papa dan gantian mendesak Mama agar dibelikan," ujar dia, disambut gelak kecil mereka yang mendengar kisah ini.

Tanpa disangka-sangka, dia dan ibunya mendapat SMS (layanan pesan singkat) dari orang-orang yang ternyata begitu memperhatikan keluarga mereka. Rupanya, diam-diam si ayah sering membantu orang, termasuk menyekolahkan beberapa anak. Di antara SMS yang masuk, ada satu yang membuat si anak dan ibunya terharu. Seseorang dari Malaysia mengatakan dia dan keluarganya dahulu dibawa keluar dari Malaysia saat kerusahan rasial di Kuala Lumpur 13 Mei 1969 oleh ayahnya. Mereka diselamatkan dengan pesawat helikopter. "Itulah Papa, dia membantu tanpa pandang bulu dan tak tak peduli dengan risikonya."

Ada banyak kenangan kecil tentang si ayah. Mulai dari membelikan sepeda mini pertamanya ketika dia berumur lima tahun. Warna sepedanya merah. Begitu juga dengan mengantarkan dan menjemput dia ke sekolah atau ke tempat les. Si ayah juga mengantarkan dia ke disko karena waktu itu dia berusia 17 tahun. Pada usia yang sama dia mendapatkan surat izin mengemudi (SIM), walau dia sudah sering mengemudi tanpa SIM dengan mobil ibunya. Surat ini dia peroleh dengan cara normal. Tanpa kolusi apalagi nepotisme. Meski dia anak jenderal dengan jabatan tinggi: Menhankam dan Panglima ABRI. "Saya memang selalu diajarkan untuk taat aturan," kata dia.

Meski anak tentara, si anak mengaku bahagia dibesarkan dalam keluarga yang sangat demokratis. Meski jarang berdebat dengan ayahnya--mungkin karena takut atau segan karena sang ayah lebih banyak diam--mereka selalu memutuskan semua masalah dengan cara yang sangat demokratis. "Saya, Papa, dan Mama selalu memutuskan suatu masalah dengan voting."

Terlalu banyak kenangan tentang sang ayah. Namun, ada suatu peristiwa yang tak mungkin lepas dari ingatan si putri yang juga ibu dari Hanna, Beata, Mabel, dan Daniel ini. Saat itu dia akan berangkat sekolah ke Amerika Serikat. Dia diantar oleh ayah, ibunya, Hartini, dan teman-temannya. Tibalah saat perpisahan dengan teman-teman dan ibunya.

Terakhir dia mendekati ayahnya. Keduanya berpelukan erat. Kira-kira setengah jam. Mereka seperti tidak mau terpisahkan. Keduanya menangis. "Saat itu saya bilang, Papa, anggap saja saya sedang liburan," kata dia menahan tangis. Ruangan sunyi. Beberapa tamu tampak menyeka air mata.

Beberapa tahun kemudian, si anak berada dalam situasi yang hampir sama. Sang ayah sekarat karena stroke dan dirawat di Rumah Sakit TNI Angkatan Darat Gatot Soebroto. Setelah koma, akhirnya sang ayah, Leonardus Benjamin Moerdani mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit TNI Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, 29 Agustus silam.

"Sekarang anggap saja Papa yang lagi liburan... [terdiam] dan kita akan bertemu lagi," kata Irene Ria Moerdani, pada acara perayaan 40 hari wafatnya L. B. Moerdani (1932-2004), di gedung CSIS, Jakarta, Senin (4/10).


Wednesday, October 06, 2004
God Won't Ask...


When the time is right...

God won't ask what kind of fancy car you drove.
He WILL ask how many people you gave a ride to who didn't have transportation.

God won't ask the square footage of your house.
He WILL ask how many people did you help that didn't have a house.

God won't ask how many fancy clothes you had in your closet.
He WILL ask how many of those clothes you gave to the Salvation Army.

God won't ask what social class you were in.
He WILL ask what kind of "Class" you displayed.

God won't ask how many material possessions you had.
He WILL ask whether those material possessions dictated your life.

God won't ask what your highest salary was.
He WILL ask if you trampled over any people to obtain it.

God won't ask how much overtime you worked.
He WILL ask if you worked overtime for your family.

God won't ask how many promotions you received.
He WILL ask what you did to promote others.

God won't ask what your job title was.
He WILL ask if you performed your job to the best of your ability.

God won't ask how many promotions you took to chase a dollar bill.
He WILL ask how many promotions you refused to advance the quality of your family.

God won't ask how many times you didn't run around on your spouse.
He WILL ask how many times you did.

God won't ask how many degrees you had.
He WILL ask how many people you thanked for helping you get those degrees.

God won't ask what your parents did to help you.
He WILL ask what you did to help your parents.

God won't ask what you did to help yourself.
He WILL ask what you did to help others.

God won't ask how many friends you had.
He WILL ask how many people you were a friend to.

God won't ask what you did to protect your rights.
He WILL ask what you did to protect the rights of others.

God won't ask what neighborhood you lived in.
He WILL ask what other neighborhoods you visited.

God won't ask how many times you told the truth.
He WILL ask how many times you told a lie.

God won't ask about the color of your skin.
He WILL ask about the color of your heart.

God won't ask how many times that your deeds matched your words.
He WILL ask how many times they didn't.


Tuesday, October 05, 2004
Durian Runtuh

Hidup itu indah karena penuh misteri. Tak ada yang bisa menebak apa yang terjadi besok. Sebab, hidup seseorang bisa berubah dalam hitungan, tahun, bulan, jam, menit, detik.

Adalah Sony, pemuda ceking yang selalu menjadi satu-satunya cowok yang paling seksi di rumah sebuah keluarga yang tinggal di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Dia selalu menjadi seksi repot. Dia tak pernah terlihat diam. Apalagi jika ada pesta atau ada acara. Pokoknya semua pekerjaan mulai yang remeh-temeh hingga membutuhkan tenaga kasar selalu dikerjakan.

Karena lulusan sekolah menengah kejuruan (dulu Sekolah Teknik Menengah), dia memang selalu maju mengurusi semua kegiatan yang berbau listrik. Sony juga selalu bergerak ke sana ke mari dengan sepeda bututnya. Mungkin karena terlalu aktif itulah produksi keringatnya melimpah. Baunya tidak sedap lagi. Ugh. Bau badannya sering menjadi bahan ejekan. Namun, Sony tenang saja. Habis memang bau sih, begitu kali, pikir dia.

Sony tinggal di rumah keluarga itu sejak sekolah menengah pertama. Semuanya berjalan tanpa sengaja. Sony dekat dengan salah satu anak keluarga ini. Mereka bertemu di Gereja Paulus, Menteng, Jakarta Pusat. Sejak itulah dia lebih sering menginap di rumah penuh bunga mawar. Dia bahkan menjadi anggota keluarga setelah ibunya dimasukkan ke panti jompo karena hilang ingatan.

Baru-baru ini, Sony ketiban durian runtuh. Rumah gubuknya di atas sebidang tanah dibeli pensiunan tentara berpangkat jenderal seharga Rp 80 juta. Sebenarnya harga itu terbilang murah untuk tanah di kawasan Menteng. Namun, Sony menerima saja. Sebab tanah itu memang tidak mempunyai sertifikat dan dokumen resmi lain.

Sony mendadak menjadi jutawan. Mungkin jumlah Rp 80 juta tidak berarti apa-apa bagi sebagian orang. Tapi, besar sekali bagi Sony yang cuma pegawai kecil di sebuah perusahaan. Dan, yang membahagiakan, hingga kini, dia tidak berubah. Masih Sony yang kerempeng dengan baju yang selalu ada luka.

Perubahan justru terjadi pada anggota keluarga yang menampungnya. Salah satu anaknya mengaku malu. Selama ini, mereka selalu memperlakukan Sony seperti pembantu. Berkata kasar seenak perut. Memandang sebelah mata pada lajang yang rambutnya selalu dipotong cepak itu. "Sekarang gantian kita yang bergantung sama Sony. Mama sama Papa tuh sering minta uang sama Sony," kata salah satu anaknya.

Kisah Sony menjadi pelajaran berharga bagi keluarga besar itu. Mereka seperti ditampar agar tidak lagi memperlakukan orang semena-mena. Seharusnya Sony diperlakukan seperti saudara, meski badannya bau, bajunya compang-camping, dan ibunya di panti jompo. "Lihat sekarang kita yang mengemis-ngemis sama Sony," kata sang anak.


home

my book
It's my first book!
messages
Name :
Web URL :
Message :


archives
February 2004
March 2004
April 2004
May 2004
June 2004
July 2004
August 2004
September 2004
October 2004
November 2004
December 2004
January 2005
February 2005
March 2005
April 2005
May 2005
June 2005
July 2005
August 2005
September 2005
October 2005
November 2005
December 2005
January 2006
February 2006
March 2006
April 2006
May 2006
June 2006
July 2006
August 2006
September 2006
October 2006
November 2006
December 2006
January 2007
February 2007
March 2007
April 2007
May 2007
June 2007
July 2007
December 2007
January 2008
February 2008
May 2008
July 2008
August 2008
November 2008
January 2009
February 2009
March 2009
August 2009
October 2009
April 2011
June 2011
July 2011
November 2011
December 2011
April 2012
June 2012
November 2013
December 2014

links
Detik
Desa-Pelangi
Tempo
Kompas
Liputan6
Journey
Christian Women

resources
Tagboard
Blogger
Google
SXC
HTML
Haloscan
Gettyimages

hit counter
Free Web Counter

BlogFam Community